Syarat
Diterimanya Amal Ibadah dari Seseorang
yang Beribadah kepada Allah I.
Segala puji bagi
Allah Dzat yang Maha Luas karunia-Nya, shalawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada Nabi Muhammad r , keluarganya, sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunnahnya sampai
hari kiamat.
Definisi
ibadah dan macam macam ibadah
Pengertian
ibadah yang sangat bagus adalah apa yang pernah disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[1] Rahimahullah
:
العبادة هي اسم
جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأعمال الباطنة والظاهرة . فالصلاة
والزكاة والصيام والحج وصدق الحديث وأداء الأمانة وبرّ الوالدين وصلة الأرحام
والوفاء بالعهود والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر والجهاد للكفار والمنافقين
والإحسان للجار واليتيم والمسكين وابن السبيل والمملوك من الآدميين والبهائم
والدعاء والذكر والقراءة وأمثال ذلك من العبادة
“Ibadah adalah semua nama dari
perkara-perkara yang dicintai dan diridhoi oleh Allah berupa perkataan dan
perbuatan yang bersifat batin mapaun tampak. Maka sholat, zakat, puasa, haji,
perkataan yang jujur, melaksanakan
amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali silaturrahim, menepati
janji, memerintahkan kepada kebaikan, mencegah dari hal-hal yang mungkar,
berjihad memerangi orang-orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga,
anak yatim, orang miskin, musafir yang kehabisan bekal, penguasa, dari golongan
manusia dan binatang, juga termasuk do’a , dzikir, membaca Al qur’an, dan
ibadah-ibadah yang lainnya.
وكذلك حب الله
ورسوله وخشية الله والإنابة إليه وإخلاص الدين له والصبر لحكمه والشكر لنعمه
والرضا بقضائه والتوكل عليه والرجاء لرحمته والخوف من عذابه وأمثال ذلك هي من
العبادة لله
Dan begitu juga
cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, Inabah kepada Allah
(kembali kepada Allah dengan menjalankan ketaatan dan menjauhi maksiat), dan
memurnikan agama untuk-Nya, bersabar dengan hukum-Nya, bersyukur dengan segala
nikmat-Nya, ridho dengan taqdirnya, tawakkal kepadaNya, dan berharap kepada
rahmat-Nya, takut kepada siksaan-Nya, dan ibadah-ibadah kepada Allah yang lain.
Dan hal itu
karena ibadah kepada Allah adalah tujuan dari kecintaan kepada-Nya dan
keridhoan kepada-Nya yang telah menciptakan makhluk-Nya untuk beribadah
kepada-Nya.
Sebagaimana
Allah I berfirman
:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (٥٦)
Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.[2]
Syarat-syarat
diterimanya Amal Ibadah
Allah I berfirman :
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ
أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (١١٠)
Katakanlah:
Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
"Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya".[3]
Imam Ibnu Katsir
menyebutkan dalam tafsirnya :
“Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti
petunjuk Nabi r, pen). Dan “janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya
selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya. Inilah
dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti
petunjuk Rasulullah r.[4]
Dari ayat
tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa syarat diterimanya amal adalah
dua, yaitu :
1.
Ikhlash hanya ditujukan kepada
Allah saja, dengan syahid ayatnya :
وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا...
2.
Mengikuti petunjuk Rasulullah r dalam praktek beribadahnya, syahid ayatnya :
فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا...
Ikhlash Hanya
ditujukan Kepada Allah I
Allah
I berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ (٥)
Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.[5]
Syaikh Salim bin
‘Iid al-Hilali mengatakan dalam menerangkan ayat ini[6] :
Allah I menkabarkan
bahwa sesungguhnya Dia memerintahkan hamba-Nya untuk mentauhidkan-Nya maka
mereka tidak menyembah kepada Allah bersama dengan selain-Nya, mereka
memalingkan semua agama yang batil kepada agama Islam. Karena Islam adalah
agama “Hanifiyah” yang lapang, atau agama umat yang lurus dalam kebenaran. Dan
tauhid ini adalah keistimewaan umat Islam dengan akidahnya dan jalan hidupnya
yang berbeda dengan orang-orang kafir, dan karena tauhid adalah adalah tujuan
utama dari dutusnya seorang Nabi.
Dari Ibunda ‘Aisyah Radhiyallahu
‘Anha berkata, bahwa Rasulullah r bersabda :
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam
agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[8]
Dan dalam riwayat yang lain dari
Imam Muslim :
“Barangsiapa melakukan suatu
amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”[9]
Dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam,
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung
mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir).
Sebagaimana hadits ‘innamal a’malu bin niyat’ [sesungguhnya amal
tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu
amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan
mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan
Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan
dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut
bukanlah agama sama sekali.”
Di kitab
yang sama, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Suatu amalan tidak akan
sempurna (tidak akan diterima, pen) kecuali terpenuhi dua hal:
- Amalan tersebut secara
lahiriyah (zhohir) mencocoki ajaran Nabi r. Hal ini terdapat dalam hadits
‘Aisyah ‘Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini
yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.’
2.
Amalan tersebut secara batininiyah diniatkan ikhlas
mengharapkan wajah Allah. Hal ini terdapat dalam hadits ‘Umar ‘Sesungguhnya
setiap amalan tergantung pada niat’.”
Syaikh Shalih
al-‘Utsaimin Rahimahullah ketika menerangkan hadits ini juga mengatakan[10] :
Dan hendaklah
diketahui bahwa mutaba’ah (mengikuti cara Rasulullah dalam beribadah, pen)
tidaklah terwujud kecuali jika amal ibadah itu sesuai dengan syari’at dalam
enam perkara, yaitu : sebabnya, jenisnya, kadar/ukurannya, caranya, waktunya,
dan tempatnya.
Dan apabila
amalan ibadah itu tidak mencocoki
syari’at dalam enam perkara tadi maka amal ibadah itu adalah batil serta
tertolak, karena hal itu adalah perkara baru dalam agama Allah yang tidak ada
dasarnya.
Pertama :
Hendaknya amal ibadah itu mencocoki syari’at dalam
sebabnya: dan hal itu misalnya dengan seseorang melakukan ibadah karena sebab
yang Allah tidak menjadikannya sebagai sebab, contoh : seseorang melakukan
sholat dua roka’at setiap kali masuk rumahnya dan dia menjadikannya sebagai
amalan sunnah, dan ini adalah amalan yang tertolak, padahal hukum asal dari
sholat adalah disyari’atkan, akan tetapi jika ibadah itu dikaitkan dengan sebab
yang tidak disyariatkan maka amal ibadah itu tertolak.
Contoh yang lain
yaitu seseorang mengada-adakan hari raya baru atas kemenangan kaum muslimin pada perang badar, maka ini amalan yang
tertolak, karena dia mengkaitkan hal itu dengan sebab yang Allah dan Rasul-Nya
tidak pernah menjadikannya sebagai sebab.
Kedua :
Hendaknya amal
ibadah itu mencocoki syari’at dalam hal jenisnya, maka jika peribadatan kepada
Allah dengan jenis yang Allah tidak mensyari’atkannya maka hal itu tidaklah
akan diterima, contohnya : jika ada seseorang berkurban dengan kuda, maka hal
itu tertolak dan tidak diterima, sebab hal itu menyelisihi syari’at dalam hal
jenis, karena sesungguhnya kurban itu hanya dengan hewan ternak yaitu : unta,
sapi, dan kambing.
Dan adapun
seseorang jika menyembelih kuda untuk disedekahkan dagingnya maka hal ini diperbolehkan,
karena hal itu bukan dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan
sembelihannya melainkan sembelihan itu hanya untuk disedekahkan dagingnya.
Ketiga :
Hendaknya amal
ibadah itu harus mencocoki syari’at dalam hal kadar/ukurannya : jika ada seseorang
beribadah kepada Allah U dengan ukuran yang ditambah dari
syari’at (yang sudah ada, pen) maka ibadahnya tidak diterima, contohnya :
seseorang berwudhu dengan empat kali artinya dia membasuh anggota wudhu dengan
empat kali basuhan, maka basuhan yang ke empat tidak diterima, karena itu
adalah tambahan dari apa yang telah ditentukan oleh syari’at. Bahkan telah
datang hadits bahwa Nabi r berwudhu dengan tiga kali tiga kali dan Beliau
bersabda : “Barangsiapa menambah dari yang demikian itu maka sungguh dia telah
berbuat buruk, melampaui batas, dan berbuat dzolim.”[11]
Keempat :
Hendaknya amal ibadah mencocoki
syari’at dalam hal cara pelaksanaannya : seandainya seseorang beramal dengan
suatu amalan, yang dia beribadah kepada Allah dengannya dan amal itu
menyelisihi syari’at dalam hal cara pelaksanaannya, maka amal itu tidak
diterima darinya, dan juga amalnya tertolak.
Contoh : jika ada seseorang sholat
lalu dia sujud sebelum ruku’, maka sholatnya batal tidak diterima, karena tidak
sesuai dengan syari’at dalam hal cara pelaksanaannya.
Dan begitu juga jika ada seseorang
yang berwudhu secara terbalik dengan dia memulai dari kaki kemudian kepala,
kemudian tangan, kemudian wajah, maka wudhunya batal, karena caranya menyelisihi
syari’at.
Kelima :
Hendaknya amal ibadah itu mencocoki
syari’at dalam hal waktu pelaksanaannya : jika ada seseorang shalat sebelum
masuk waktunya, maka shalatnya tidak diterima karena dia shalat pada waktu yang
tidak sesuai dengan batasan syari’at.
Jika ada seseorang menyembelih
qurban sebelum dia melakukan shalat ‘Id maka qurbannya tidak diterima karena
waktunya tidak sesuai dengan waktu yang telah disyari’atkan.
Dan jika ada seseorang beri’tikaf
bukan pada waktunya maka hal itu tidak disyari’atkan akan tetapi diperbolehkan,
karena Nabi r menyetujui ‘Umar bin Khoththob t saat dia beri’tikaf di Masjidil
Haram untuk memenuhi nadzarnya.
Dan seandainya ada seseorang
mengakhirkan ibadah-ibadah yang mempunyai waktu dari waktunya tanpa ada ‘udzur,
seperti seseorang yang sholat subuh setelah terbitnya matahari tanpa ada
‘udzur, maka shalatnya tertolak, karena dia beramal dengan satu amalan yang
Allah dan Rasul-Nya tidak memerintahkannya.
Keenam :
Hendaknya amal ibadah mencocoki
syari’at dalam hal tempat pelaksanaannya : seandainya ada seseorang yang beri’tikaf
di sekolah atau di rumah, maka i’tikafnya tidak sah karena tidak sesuai dengan
syari’at dalam hal tempat i’tikaf, karena i’tikaf tempatnya hanya di masjid.
Syarat sempurnya amal ibadah
Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilaliy
mengatakan saat menerangkan hadits pertama dalam kitab Riyadhush Shalihin[12]
:
Dan setengah syarat diterimnya amal
yang lain adalah syarat sempurnanya amal, yaitu :
1. Melakukannya
dengan sunguh-sungguh
2. Bersegera
untuk melakukannya
Melakukannya dengan sungguh-sungguh
Dalam firman Allah I :
...خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ
وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
..."Peganglah teguh-teguh apa yang
Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar kamu
bertakwa".[13]
Dan firman Allah I :
...فَخُذْهَا
بِقُوَّةٍ وَأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوا بِأَحْسَنِهَا ...(١٤٥)
..."Berpeganglah kepadanya dengan
teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan
sebaik-baiknya[14]....
Dan firman Allah I :
يَا يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا (١٢)
Hai Yahya, ambillah Al kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.
dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak[15]
Bersegera Untuk Melakukannya
Dalam firman Allah U :
اذْهَبْ أَنْتَ وَأَخُوكَ بِآيَاتِي وَلا تَنِيَا فِي
ذِكْرِي (٤٢)
Pergilah
kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua
lalai dalam mengingat-Ku[16]
Hal-hal
yang Bisa Merusak Amal Ibadah[17]
Perusak Ikhlas
Perusak
ikhlas adalah riya’ dan sum’ah, yaitu beramal bukan karena Allah I, tetapi karena ingin dipertontonkan
atau diperdengarkan kepada manusia. Demikian pula beramal karena dunia dapat
merusak keikhlasan. Rasulullah r bersabda:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت
هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو
امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
“Sesungguhnya
amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang (mendapatkan balasan)
sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka
hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya (yakni mendapatkan balasan kebaikan sesuai
niatnya), dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin dia raih, atau
wanita yang ingin dinikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan.” [18]
Riya’ dalam
beramal juga termasuk kategori syirik kecil yang perkaranya amat halus dan
samar, sehingga seringkali merusak amalan seseorang tanpa disadarinya. Oleh
karenanya Rasulullah r sangat khawatir penyakit riya’ ini akan menimpa
manusia-manusia terbaik di zaman beliau, yakni para sahabat y. Oleh karena itu, kita lebih lebih
layak untuk takut dari penyakit riya’ ini.
Rasulullah r bersabda :
إن أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر قالوا وما الشرك
الأصغر يا رسول الله قال الرياء يقول الله عز و جل لهم يوم القيامة إذا جزى الناس
بأعمالهم اذهبوا إلى الذين كنتم تراؤون في الدنيا فانظروا هل تجدون عندهم جزاء
“Sesungguhnya
yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil”, para sahabat
bertanya, “Apa yang dimaksud syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau
bersabda, “(Syirik kecil itu) riya’, Allah U berfirman pada hari kiamat kepada
mereka (orang-orang yang riya’ dalam beramal), yaitu ketika Allah I telah membalas amal-amal manusia,
(maka Allah katakan kepada mereka), “Pergilah kalian kepada orang-orang yang
dahulu kalian perlihatkan (riya’) amalan-amalan kalian ketika di dunia, maka
lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!”.”[19]
Betapa
bahayanya perbuatan syirik kecil (riya’) ini, sehingga tidak ada tempat bagi
kita untuk selamat darinya selain meminta pertolongan kepada Allah I dan senantiasa menjaga niat kita.
Rasulullah r telah mengajarkan sebuah doa:
اللهم إني أعوذ بك أن أشرك بك وأنا أعلم وأستغفرك لما لا
أعلم
“Ya Allah
aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu yang aku ketahui dan aku memohon
ampun kepadamu (dari menyukutukan-Mu) yang tidak aku ketahui.” [20]
Perusak Mutaba’ah
adalah Bid’ah
Adapun
perusak mutaba’ah adalah perbuatan bid’ah dalam agama, yaitu
mengada-adakan suatu perkara baru dalam agama (bukan dalam masalah dunia), atau
mengamalkan sesuatu yang tidak berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Amalan
bid’ah tertolak, tidak akan sampai kepada Allah I, bahkan inilah sejelek-jelek
perkara dan setiap bid’ah pasti sesat. Sebagaimana penjelasan Nabi yang mulia r dalam beberapa hadits berikut ini:
1. Hadits Ibunda
‘Aisyah Radhiyallahu ’Anha, Rasulullah r bersabda:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد
“Barangsiapa
yang mengada-ngadakan perkara baru dalam agama kami ini apa-apa yang bukan
daripadanya maka ia tertolak.”[21]
2. Hadits Ibunda
‘Aisyah Radhiyallahu ’Anha, Rasulullah r bersabda:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ردّ
“Barangsiapa
yang melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah kami, maka amalan
tersebut tertolak.”[22]
3. Hadits Jabir
bin Abdullah Radhiyallahu ’Anhuma yang mengisahkan khutbah Rasulullah r :
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ
اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du,
sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad (r) dan seburuk-buruk urusan adalah perkara baru (dalam
agama) dan semua perkara baru (dalam agama) itu sesat.” [23]
4. Hadits Al-Irbadh
bin Sariyah t, Rasulullah r bersabda:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ
وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى
اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku
wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat
kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari
Habasyah, karena sesungguhnya siapa pun diantara kalian yang masih hidup
sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak (dalam agama), maka wajib
bagi kalian (menghindari perselisihan tersebut) dengan berpegang teguh dengan
sunnahku dan sunnah Al-Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat petunjuk.
Peganglah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan
berhati-hatilah kalian terhadap perkara baru (bid’ah dalam agama) karena setiap
bid’ah itu sesat.”[24]
Kesimpulan
Ibadah
adalah tujuan dari Allah I menciptakan jin dan manusia. Maka
tiada waktu kita di dunia ini sedikitpun yang bisa terlepas dari ibadah kepada
Allah. Maka akan sangat merugi lah orang-orang yang telah bersusah payah
beribadah kepada Allah tapi mereka juga merusak amal ibadah mereka sendiri
karena tidak tahu syarat-syarat diterimanya ibadah, atau mereka tahu
syarat-syarat diterimanya ibadah tapi mereka tidak tahu perkara-perkara yang dapat merusak amal
ibadah mereka.
Maka yang
perlu diperhatikan adalah kita mengetahui keutamaan suatu amalan disertai dengan mengetahui
perusak-perusaknya juga agar kita tidak menjadi orang-orang yang merugi di
kemudian hari. Semoga Allah menjaga kita dari keikhlasan beramal dan
keistiqomahan mengikuti sunnah Rasul-Nyar, dan menjauhkan kita dari perusak- perusak amal
ibadah dan menyempurnakan amal kita dengan kita besungguh-sungguh dalam
beribadah dan bersegera untuk melakukannya. Wallahul muwaffiq.
وصلّى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وأصحابه ومن سار
على نهجه إلى يوم الدين
فوكونج دالانجان , ٢٢ رجب ١٤٣٤ ﻫ
هاشم إخوان
الدّين
B
Maraji’
:
1.
Al-‘Ubudiyah, jilid 1, halaman 44
2.
Syarah
al-Arba’in an-Nawawiyah, Syaikh al-‘Utsaimin, hal. 115-118, Daruts tsuroya
Linnasyri
3.
Bahjatun
Nadzirin Syarhu Riyadush Sholihin, jilid 1, hal. 25, cetakan Dar Ibnul Jauziy
[1]
Al-‘Ubudiyah, jilid 1, halaman 44
[2] QS.
Adz-dzariyat : 56
[3] QS.
Al-Kahfi : 110
[5] QS.
Al-Bayyinah : 5
[6] Bahjatun
Nadzirin Syarhu Riyadush Sholihin, jilid 1, hal. 25, cetakan Dar Ibnul Jauziy
[8] HR. Imam Bukhari dan Muslim
[9] HR.
Muslim
[10] Syarah
al-Arba’in an-Nawawiyah, Syaikh al-‘Utsaimin, hal. 115-118, Daruts tsuroya
Linnasyri
[11]
Diriwayatkan oleh Ahmad (6684),
an-Nasa’iy, kitabut thoharoh, bab al i’tida’ fil wudhu’i,(140), Ibnu Maajah,
kitabut thoharoh wa sunaniha, bab Ma jaa’a fil qoshdi fil wudhu’i wa karohatit
ta’addiy fiihi, (422)
[12]
Bahjatun Nadzirin Syarhu Riyadush Sholihin, jilid 1, hal. 25, cetakan Dar Ibnul
Jauziy
[13] QS.
Al-Baqarah : 63 dan 93, Al-Isro’ : 171
[14] QS.
Al-A’rof : 145
[15] QS.
Maryam : 21
[16] QS.
Thaaha : 42
[19] HR. Ahmad, no. 23680, dishahihkan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 32
[20] HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, no. 716,
dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohih Al-Adabil Mufrad, no. 266
Tidak ada komentar:
Posting Komentar