Segala puji bagi Allah Ta’ala, shalawat dan salam
semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kenapa di dalam Al Qur’an penciptaan “Nur” atau cahaya
menggunakan kata “Ja’ala”(جعل) bukan menggunakan kata “Khalaqa” (خلق) ....?[1]
“الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ
وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ثُمَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ “[2]
“Ja’ala” (جعل) bisa bermakna “khalaqa” (خلق) yang artinya menciptakan. Namun
apa sih faidah dari penggunaan kata “ja’ala” kalau sama-sama artinya menciptakan? Kenapa tidak
“khalaqa” saja wong artinya juga sama? Berikut sedikit penjelasannya.
“Ja’ala” sendiri
memiliki dua makna tergantung konteks yang sedang dibahas. Terkadang “ja’ala”
bisa bermakna ”khalaqa” (menciptakan) jika dia hanya membutuhkan satu maf’ul bih.
Tapi “ja’ala” bisa bermakna “shayyara” (menjadikan) jika dia membutuhkan dua maf’ul
bih[3].
Contoh :
1. Dalam surat Nuh ayat 16 :
“وَجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا “
“...(dan Dia) menjadikan
matahari sebagai pelita.”
Kata “ja’ala” dalam ayat ini
menunjukkan makna “shayyara” (menjadikan) yang berkonsekuensi membutuhkan dua maf’ul
bih yaitu الشَّمْسَ dan سِرَاجًا , dua-duanya dibaca manshub. Dan ayat yang
lain.
2. Dalam surat Al an’am ayat 1 :
“الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَجَعَلَ
الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ “
“Segala puji bagi
Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang,
Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.”
Dalam ayat ini kata “ja’ala”
bermakna “khalaqa” (menciptakan), maka dia hanya membutuhkan satu maf’ul bih
yaitu الظُّلُمَاتِ (kegelapan) atau النُّورَ (cahaya). Lho kok satu maf’ul bih ?
Ya kan antara الظُّلُمَاتِ dan النُّورَ ada huruf ‘athaf و
(wau), maka kedudukan dua kata itu setara.
Nah, dalam bahasa arab suatu kata ketambahan satu huruf saja
faidahnya jadi macam-macam. Apalagi kalau yang digunakan beda kata maknanya sama, pasti memeiliki banyak
hikmah dan faidah. Maka Syaikh Ibnul ‘Utsaimin[4]
memiliki penjelasan menarik terkait hal ini.
Di antara hikmahnya, seperti diterangkan oleh Beliau, bahwa
ada Ulama yang mengatakan tentang hikmah penggunaan kata “ja’ala” dan “khalaqa”
ini adalah sebagai variasi di dalam berbahasa, yaitu penggunaan kata yang berbeda
yang memiliki kesamaan makna. Dan hal ini juga menunjukkan atas keindahan dalam
berbahasa yang biasa disebut Balaghah.
Dan ada juga yang mengatakan bahwa penciptaan cahaya
menggunakan kata “ja’ala” itu untuk menunjukkan bahwa cahaya itu tidak akan
terlihat sebagai cahaya kecuali membutuhkan benda yang lain untuk memantulkannya.
Sebagai contoh sinar matahari. Maka sinar matahari akan terlihat terang jika dia
berhadapan dengan benda lain yang memantulkannya. Sinar matahari yang dipantul
oleh pemukaan putih jauh lebih terang daripada yang dipantulkan oleh permukaan
hitam.
Ustadz Aris Munandar hafizhahullah menerangkan[5]
:
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa penciptaan cahaya itu
melazimkan penciptaan pemantulnya. Karena cahaya tidak akan terlihat terang
jika dia tidak dipantulkan oleh benda lain yang memantulkannya. Maka penggunaan
kata “ja’ala” pada penciptaan cahaya menyiratkan penciptaan pemantulnya juga.
Jadi kata “ja’ala” dalam Al An’am ayat pertama
tetap membutuhkan pada dua maf’ul bih
secara tersirat. Meskipun secara zhahir ayat kata “ja’ala” itu hanya
memiliki satu maf’ul bih.
Hikmah yang lain dari penggunaan kata “ja’ala” untuk
penciptaan cahaya adalah karena kegelapan dan cahaya itu bisa memiliki dua
makna, makna kongkrit dan makna abstrak. Kegelapan malam misalnya, merupakan
kegelapan yang kongkrit yang bisa dirasakan dengan indra manusia, sedangkan
kebodohan adalah contoh kegelapan dengan makna abstrak. Cahaya yang terang di
siang hari adalah contoh cahaya dalam makna kongkrit. Adapun cahaya ilmu dan
iman adalah cahaya dalam makna abstrak. Termasuk cahaya ilmu dan iman adalah
bercahayanya hati dengan firman Allah. Dan kita tahu firman Allah bukanlah makhluk,
lalu bagaimana dengan ayat yang menerangkan bahwa Al Qur’an itu disebut cahaya?
Allah Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا
Hai manusia, Sesungguhnya telah
datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan
telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang
benderang (Al Quran).[6]
Maka Allah menggunakan kata “ja’ala”
dalam penciptaan cahaya, karena kata “ja’ala” bisa digunakan untuk menunjukkan
penciptaan makhluk dan bukan makhluk.
Ustadz Aris Munandar
hafizhahullah menambahkan[7]
:
Jika seandainya ayat penciptaan
cahaya itu menggunakan kata “khalaqa”, maka orang-orang Mu’tazilah pasti akan
memiliki hujjah yang kuat. Mereka pasti menghubung-hubungkan dengan logikanya :
“Allah menciptakan cahaya, kemudian Allah juga menyebut Al Qur’an sebagai
cahaya[8],
sedangkan cahaya adalah makhluk, berarti Al Qur’an itu makhluk dong...”
Namun sungguh besar hikmah Allah
menggunakan kata “ja’ala” untuk penciptaan cahaya. Yaitu mematahkan rusaknya
Akidah Mu’tazilah yang mengatakan Al Qur’an adalah makhluk dan benarnya Akidah
Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa Al Qur’an adalah firman Allah bukan makhluk. Wallahu
a’lamu bish shawab.
وصلّى
الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحله أجمعين والحمد لله ربّ العالمين
MPD, Kamis, 29 Shafar 1435 H
Ibnu Abi Hasyim ‘afahullahu wa walidaihi wal muslimiina
ajma’in
[1] Faidah kajian Tafsir surat Al An’am
karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin rahimahullah bersama Al Ustadz
Aris Munandar, S.S., M.P.I. hafizhahullah di Masjid Al ‘Ashri Pogung Rejo
[2] QS. Al
An’am : 1
[3] Penjelasan
Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I. hafizhahullahu ta’ala
[4] Tafsir
Surat Al An’am hal. 16, cetakan Dar Ibnul Jauziy
[5] Secara maknawi
[6] QS. An
Nisa’ : 174
[7] Secara maknawi
[8] QS. An
Nisa’ : 174