Senin, 18 November 2013

Syarat Diterimanya Amal Ibadah

بسم الله الرحمن الرحيم

Syarat Diterimanya Amal Ibadah  dari Seseorang yang Beribadah kepada Allah I.
Segala puji bagi Allah Dzat yang Maha Luas karunia-Nya, shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad r , keluarganya, sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunnahnya sampai hari kiamat.
Definisi ibadah  dan macam macam ibadah
Pengertian ibadah yang sangat bagus adalah apa yang pernah disampaikan  oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[1] Rahimahullah :
العبادة هي اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأعمال الباطنة والظاهرة . فالصلاة والزكاة والصيام والحج وصدق الحديث وأداء الأمانة وبرّ الوالدين وصلة الأرحام والوفاء بالعهود والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر والجهاد للكفار والمنافقين والإحسان للجار واليتيم والمسكين وابن السبيل والمملوك من الآدميين والبهائم والدعاء والذكر والقراءة وأمثال ذلك من العبادة
“Ibadah adalah semua nama dari perkara-perkara yang dicintai dan diridhoi oleh Allah berupa perkataan dan perbuatan yang bersifat batin mapaun tampak. Maka sholat, zakat, puasa, haji, perkataan yang  jujur, melaksanakan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali silaturrahim, menepati janji, memerintahkan kepada kebaikan, mencegah dari hal-hal yang mungkar, berjihad memerangi orang-orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, musafir yang kehabisan bekal, penguasa, dari golongan manusia dan binatang, juga termasuk do’a , dzikir, membaca Al qur’an, dan ibadah-ibadah yang lainnya.
وكذلك حب الله ورسوله وخشية الله والإنابة إليه وإخلاص الدين له والصبر لحكمه والشكر لنعمه والرضا بقضائه والتوكل عليه والرجاء لرحمته والخوف من عذابه وأمثال ذلك هي من العبادة لله
Dan begitu juga cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, Inabah kepada Allah (kembali kepada Allah dengan menjalankan ketaatan dan menjauhi maksiat), dan memurnikan agama untuk-Nya, bersabar dengan hukum-Nya, bersyukur dengan segala nikmat-Nya, ridho dengan taqdirnya, tawakkal kepadaNya, dan berharap kepada rahmat-Nya, takut kepada siksaan-Nya, dan ibadah-ibadah kepada Allah yang lain.
Dan hal itu karena ibadah kepada Allah adalah tujuan dari kecintaan kepada-Nya dan keridhoan kepada-Nya yang telah menciptakan makhluk-Nya untuk beribadah kepada-Nya.
Sebagaimana Allah I berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (٥٦)
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.[2]

Syarat-syarat diterimanya Amal Ibadah
Allah I berfirman :
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (١١٠)
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".[3]
Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya :
Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi r, pen). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya. Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah r.[4]
Dari ayat tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa syarat diterimanya amal adalah dua, yaitu :
1.      Ikhlash hanya ditujukan kepada Allah saja, dengan syahid ayatnya :
وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا...
2.      Mengikuti petunjuk Rasulullah r dalam praktek beribadahnya, syahid ayatnya :
فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا...
Ikhlash Hanya ditujukan Kepada Allah I
Allah I berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (٥)
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.[5]
Syaikh Salim bin ‘Iid al-Hilali mengatakan dalam menerangkan ayat ini[6] :
Allah I menkabarkan bahwa sesungguhnya Dia memerintahkan hamba-Nya untuk mentauhidkan-Nya maka mereka tidak menyembah kepada Allah bersama dengan selain-Nya, mereka memalingkan semua agama yang batil kepada agama Islam. Karena Islam adalah agama “Hanifiyah” yang lapang, atau agama umat yang lurus dalam kebenaran. Dan tauhid ini adalah keistimewaan umat Islam dengan akidahnya dan jalan hidupnya yang berbeda dengan orang-orang kafir, dan karena tauhid adalah adalah tujuan utama dari dutusnya seorang Nabi.
Ittiba’ atau Mencontoh Rasulullah r Dalam Praktek Ibadah[7]
Dari Ibunda ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata, bahwa Rasulullah r bersabda :
 Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[8]
Dan dalam riwayat yang lain dari Imam Muslim :
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.[9]
Dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits ‘innamal a’malu bin niyat’ [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.”
Di kitab yang sama, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Suatu amalan tidak akan sempurna (tidak akan diterima, pen) kecuali terpenuhi dua hal:
  1. Amalan tersebut secara lahiriyah (zhohir) mencocoki ajaran Nabi r. Hal ini terdapat dalam hadits ‘Aisyah ‘Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.
2.      Amalan tersebut secara batininiyah diniatkan ikhlas mengharapkan wajah Allah. Hal ini terdapat dalam hadits ‘Umar ‘Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat’.”
Syaikh Shalih al-‘Utsaimin Rahimahullah ketika menerangkan hadits ini juga mengatakan[10] :
Dan hendaklah diketahui bahwa mutaba’ah (mengikuti cara Rasulullah dalam beribadah, pen) tidaklah terwujud kecuali jika amal ibadah itu sesuai dengan syari’at dalam enam perkara, yaitu : sebabnya, jenisnya, kadar/ukurannya, caranya, waktunya, dan tempatnya.
Dan apabila amalan ibadah itu tidak  mencocoki syari’at dalam enam perkara tadi maka amal ibadah itu adalah batil serta tertolak, karena hal itu adalah perkara baru dalam agama Allah yang tidak ada dasarnya.
Pertama :
Hendaknya  amal ibadah itu mencocoki syari’at dalam sebabnya: dan hal itu misalnya dengan seseorang melakukan ibadah karena sebab yang Allah tidak menjadikannya sebagai sebab, contoh : seseorang melakukan sholat dua roka’at setiap kali masuk rumahnya dan dia menjadikannya sebagai amalan sunnah, dan ini adalah amalan yang tertolak, padahal hukum asal dari sholat adalah disyari’atkan, akan tetapi jika ibadah itu dikaitkan dengan sebab yang tidak disyariatkan maka amal ibadah itu tertolak.
Contoh yang lain yaitu seseorang mengada-adakan hari raya baru atas kemenangan kaum muslimin  pada perang badar, maka ini amalan yang tertolak, karena dia mengkaitkan hal itu dengan sebab yang Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menjadikannya sebagai sebab.
Kedua :
Hendaknya amal ibadah itu mencocoki syari’at dalam hal jenisnya, maka jika peribadatan kepada Allah dengan jenis yang Allah tidak mensyari’atkannya maka hal itu tidaklah akan diterima, contohnya : jika ada seseorang berkurban dengan kuda, maka hal itu tertolak dan tidak diterima, sebab hal itu menyelisihi syari’at dalam hal jenis, karena sesungguhnya kurban itu hanya dengan hewan ternak yaitu : unta, sapi, dan kambing.
Dan adapun seseorang jika menyembelih kuda untuk disedekahkan dagingnya maka hal ini diperbolehkan, karena hal itu bukan dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sembelihannya melainkan sembelihan itu hanya untuk disedekahkan dagingnya.
Ketiga :
Hendaknya amal ibadah itu harus mencocoki syari’at dalam hal kadar/ukurannya : jika ada seseorang beribadah kepada Allah U dengan ukuran yang ditambah dari syari’at (yang sudah ada, pen) maka ibadahnya tidak diterima, contohnya : seseorang berwudhu dengan empat kali artinya dia membasuh anggota wudhu dengan empat kali basuhan, maka basuhan yang ke empat tidak diterima, karena itu adalah tambahan dari apa yang telah ditentukan oleh syari’at. Bahkan telah datang hadits bahwa Nabi r berwudhu dengan tiga kali tiga kali dan Beliau bersabda : “Barangsiapa menambah dari yang demikian itu maka sungguh dia telah berbuat buruk, melampaui batas, dan berbuat dzolim.”[11]
Keempat :
Hendaknya amal ibadah mencocoki syari’at dalam hal cara pelaksanaannya : seandainya seseorang beramal dengan suatu amalan, yang dia beribadah kepada Allah dengannya dan amal itu menyelisihi syari’at dalam hal cara pelaksanaannya, maka amal itu tidak diterima darinya, dan juga amalnya tertolak.
Contoh : jika ada seseorang sholat lalu dia sujud sebelum ruku’, maka sholatnya batal tidak diterima, karena tidak sesuai dengan syari’at dalam hal cara pelaksanaannya.
Dan begitu juga jika ada seseorang yang berwudhu secara terbalik dengan dia memulai dari kaki kemudian kepala, kemudian tangan, kemudian wajah, maka wudhunya batal, karena caranya menyelisihi syari’at.
Kelima :
Hendaknya amal ibadah itu mencocoki syari’at dalam hal waktu pelaksanaannya : jika ada seseorang shalat sebelum masuk waktunya, maka shalatnya tidak diterima karena dia shalat pada waktu yang tidak sesuai dengan batasan syari’at.
Jika ada seseorang menyembelih qurban sebelum dia melakukan shalat ‘Id maka qurbannya tidak diterima karena waktunya tidak sesuai dengan waktu yang telah disyari’atkan.
Dan jika ada seseorang beri’tikaf bukan pada waktunya maka hal itu tidak disyari’atkan akan tetapi diperbolehkan, karena Nabi r menyetujui ‘Umar bin Khoththob t saat dia beri’tikaf di Masjidil Haram untuk memenuhi nadzarnya.
Dan seandainya ada seseorang mengakhirkan ibadah-ibadah yang mempunyai waktu dari waktunya tanpa ada ‘udzur, seperti seseorang yang sholat subuh setelah terbitnya matahari tanpa ada ‘udzur, maka shalatnya tertolak, karena dia beramal dengan satu amalan yang Allah dan Rasul-Nya tidak memerintahkannya.
Keenam :
Hendaknya amal ibadah mencocoki syari’at dalam hal tempat pelaksanaannya : seandainya ada seseorang yang beri’tikaf di sekolah atau di rumah, maka i’tikafnya tidak sah karena tidak sesuai dengan syari’at dalam hal tempat i’tikaf, karena i’tikaf tempatnya hanya di masjid.

Syarat sempurnya amal ibadah
Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilaliy mengatakan saat menerangkan hadits pertama dalam kitab Riyadhush Shalihin[12] :
Dan setengah syarat diterimnya amal yang lain adalah syarat sempurnanya amal, yaitu :
1.      Melakukannya dengan sunguh-sungguh
2.      Bersegera untuk melakukannya

Melakukannya dengan sungguh-sungguh
Dalam firman Allah I :
...خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
..."Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar kamu bertakwa".[13]
Dan firman Allah I :
...فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ وَأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوا بِأَحْسَنِهَا ...(١٤٥)
..."Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya[14]....

Dan firman Allah I :
يَا يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا (١٢)
Hai Yahya, ambillah  Al kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak[15]

Bersegera Untuk Melakukannya
Dalam firman Allah U :
اذْهَبْ أَنْتَ وَأَخُوكَ بِآيَاتِي وَلا تَنِيَا فِي ذِكْرِي (٤٢)
Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku[16]

Hal-hal yang Bisa Merusak Amal Ibadah[17]
Perusak Ikhlas
Perusak ikhlas adalah riya’ dan sum’ah, yaitu beramal bukan karena Allah I, tetapi karena ingin dipertontonkan atau diperdengarkan kepada manusia. Demikian pula beramal karena dunia dapat merusak keikhlasan. Rasulullah r bersabda:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
“Sesungguhnya amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang (mendapatkan balasan) sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya (yakni mendapatkan balasan kebaikan sesuai niatnya), dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin dia raih, atau wanita yang ingin dinikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan.” [18]
Riya’ dalam beramal juga termasuk kategori syirik kecil yang perkaranya amat halus dan samar, sehingga seringkali merusak amalan seseorang tanpa disadarinya. Oleh karenanya Rasulullah r sangat khawatir penyakit riya’ ini akan menimpa manusia-manusia terbaik di zaman beliau, yakni para sahabat y. Oleh karena itu, kita lebih lebih layak untuk takut dari penyakit riya’ ini.

Rasulullah r bersabda :
إن أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر قالوا وما الشرك الأصغر يا رسول الله قال الرياء يقول الله عز و جل لهم يوم القيامة إذا جزى الناس بأعمالهم اذهبوا إلى الذين كنتم تراؤون في الدنيا فانظروا هل تجدون عندهم جزاء
“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil”, para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik kecil itu) riya’, Allah U berfirman pada hari kiamat kepada mereka (orang-orang yang riya’ dalam beramal), yaitu ketika Allah I telah membalas amal-amal manusia, (maka Allah katakan kepada mereka), “Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan (riya’) amalan-amalan kalian ketika di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!”.”[19]
Betapa bahayanya perbuatan syirik kecil (riya’) ini, sehingga tidak ada tempat bagi kita untuk selamat darinya selain meminta pertolongan kepada Allah I dan senantiasa menjaga niat kita. Rasulullah r telah mengajarkan sebuah doa:
اللهم إني أعوذ بك أن أشرك بك وأنا أعلم وأستغفرك لما لا أعلم
“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu yang aku ketahui dan aku memohon ampun kepadamu (dari menyukutukan-Mu) yang tidak aku ketahui.” [20]
Perusak Mutaba’ah adalah Bid’ah
Adapun perusak mutaba’ah adalah perbuatan bid’ah dalam agama, yaitu mengada-adakan suatu perkara baru dalam agama (bukan dalam masalah dunia), atau mengamalkan sesuatu yang tidak berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Amalan bid’ah tertolak, tidak akan sampai kepada Allah I, bahkan inilah sejelek-jelek perkara dan setiap bid’ah pasti sesat. Sebagaimana penjelasan Nabi yang mulia r dalam beberapa hadits berikut ini:
1. Hadits Ibunda ‘Aisyah Radhiyallahu ’Anha, Rasulullah r bersabda:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد
“Barangsiapa yang mengada-ngadakan perkara baru dalam agama kami ini apa-apa yang bukan daripadanya maka ia tertolak.”[21]
2. Hadits Ibunda ‘Aisyah Radhiyallahu ’Anha, Rasulullah r bersabda:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ردّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah kami, maka amalan tersebut tertolak.”[22]
3. Hadits Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ’Anhuma yang mengisahkan khutbah Rasulullah r :
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (r) dan seburuk-buruk urusan adalah perkara baru (dalam agama) dan semua perkara baru (dalam agama) itu sesat.” [23]
4. Hadits Al-Irbadh bin Sariyah t, Rasulullah r bersabda:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah, karena sesungguhnya siapa pun diantara kalian yang masih hidup sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak (dalam agama), maka wajib bagi kalian (menghindari perselisihan tersebut) dengan berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat petunjuk. Peganglah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara baru (bid’ah dalam agama) karena setiap bid’ah itu sesat.”[24]
Kesimpulan
Ibadah adalah tujuan dari Allah I menciptakan jin dan manusia. Maka tiada waktu kita di dunia ini sedikitpun yang bisa terlepas dari ibadah kepada Allah. Maka akan sangat merugi lah orang-orang yang telah bersusah payah beribadah kepada Allah tapi mereka juga merusak amal ibadah mereka sendiri karena tidak tahu syarat-syarat diterimanya ibadah, atau mereka tahu syarat-syarat diterimanya ibadah tapi mereka tidak tahu  perkara-perkara yang dapat merusak amal ibadah mereka.
Maka yang perlu diperhatikan adalah kita mengetahui keutamaan suatu  amalan disertai dengan mengetahui perusak-perusaknya juga agar kita tidak menjadi orang-orang yang merugi di kemudian hari. Semoga Allah menjaga kita dari keikhlasan beramal dan keistiqomahan mengikuti sunnah Rasul-Nyar, dan menjauhkan kita dari perusak- perusak amal ibadah dan menyempurnakan amal kita dengan kita besungguh-sungguh dalam beribadah dan bersegera untuk melakukannya. Wallahul  muwaffiq.

وصلّى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وأصحابه ومن سار على نهجه إلى يوم الدين
فوكونج دالانجان , ٢٢ رجب ١٤٣٤ ﻫ

هاشم إخوان الدّين

B




Maraji’ :
1.       Al-‘Ubudiyah, jilid 1, halaman 44
2.      Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah, Syaikh al-‘Utsaimin, hal. 115-118, Daruts tsuroya Linnasyri
3.      Bahjatun Nadzirin Syarhu Riyadush Sholihin, jilid 1, hal. 25, cetakan Dar Ibnul Jauziy
4.      Muhammad Abduh Tuasikal, http://rumaysho.com


[1] Al-‘Ubudiyah, jilid 1, halaman 44
[2] QS. Adz-dzariyat : 56
[3] QS. Al-Kahfi : 110
[4] Muhammad Abduh Tuasikal, http://rumaysho.com
[5] QS. Al-Bayyinah : 5
[6] Bahjatun Nadzirin Syarhu Riyadush Sholihin, jilid 1, hal. 25, cetakan Dar Ibnul Jauziy
[7] Muhammad Abduh Tuasikal, http://rumaysho.com
[8] HR. Imam Bukhari dan Muslim
[9] HR. Muslim
[10] Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah, Syaikh al-‘Utsaimin, hal. 115-118, Daruts tsuroya Linnasyri
[11] Diriwayatkan oleh  Ahmad (6684), an-Nasa’iy, kitabut thoharoh, bab al i’tida’ fil wudhu’i,(140), Ibnu Maajah, kitabut thoharoh wa sunaniha, bab Ma jaa’a fil qoshdi fil wudhu’i wa karohatit ta’addiy fiihi, (422)
[12] Bahjatun Nadzirin Syarhu Riyadush Sholihin, jilid 1, hal. 25, cetakan Dar Ibnul Jauziy
[13] QS. Al-Baqarah : 63 dan 93, Al-Isro’ : 171
[14] QS. Al-A’rof : 145
[15] QS. Maryam : 21
[16] QS. Thaaha : 42
[18] HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Umar bin Khottob t
[19] HR. Ahmad, no. 23680, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 32
[20] HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, no. 716, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohih Al-Adabil Mufrad, no. 266
[21] HR. Al-Bukhari dan Muslim
[22] HR. Muslim, no. 4590
[23] HR. Muslim, no. 2042
[24] HR. Abu Dawud, no. 4609 dan At-Tirmidzi, no. 2677

Tidak ada komentar:

Posting Komentar