Minggu, 22 Desember 2013

Surat Terbuka Syekh Hasyim Asy'ariy rahimahullah kepada Orang-orang yang Fanatik kepada Satu Madzhab

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Dari makhluk yang paling melarat, bahkan tidak ada apa-apanya di dalam hakikat, Muhammad Hasyim Asy’ariy, semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya, dan seluruh kaum muslimin. Aamiin.

Kepada saudara-saudara kami yang mulia yang tinggal di Pulau Jawa dan sekitarnya, dari para Ulama’nya dan orang-orang awamnya.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Telah sampai kabar kepadaku bahwa di tengah-tengah kalian sedang menyala-nyala api fitnah dan pertentangan. Lalu aku pun memikirkan sebab terjadinya hal itu. Maka (aku simpulkan) sebabnya adalah apa yang dilakukan oleh orang-orang zaman ini, yaitu mereka mengganti dan merubah-rubah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
(Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu)[1]

Dan mereka menjadikan saudara-saudara mereka sesama muslim menjadi  musuh dan tidak mau memperbaiki hubungan dengan mereka bahkan merusak mereka.
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا تباغضوا ، ولا تدابروا ، وكونوا عباد الله إخوانا وهم يتحاسدون ويتباغضون وبتنافسون ويكونون أعداءً[2] ،  ولا تحاسدوا
(Janganlah kalian saling dengki, saling membenci, dan saling bermusuhan, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang yang bersaudara, dan mereka orang-orang yang saling dengki, saling membenci, dan yang saling bersaing, akan menjadi orang-orang yang bermusuhan)
Wahai para Ulama’ yang fanatik kepada sebagian madzhab dan sebagian pendapat Ulama’, tinggalkanlah fanatikmu dalam perkara furu’ (cabang agama), yang para Ulama’ saja dalam perkara ini terdapat dua pendapat : pendapat pertama mengatakan,”Setiap mujtahid adalah benar,” dan yang satu lagi mengatakan,”Yang benar itu cuma satu, akan tetapi yang ijtihadnya salah dia tetap diberi pahala.” Tinggalkanlah fanatisme, tinggalkanlah hawa yang merusak ini, belalah agama Islam, dan bersungguh-sungguhlah dalam membantah orang-orang yang mencela Al-Qur’an dan Sifat-sifat Ar-Rahman (Allah), serta orang yang mengaku-aku berilmu tetapi ilmu yang batil dan beraqidah dengan aqidah yang rusak. Maka bersungguh-sungguh dalam menghadapi mereka adalah wajib dan hendaklah sibukkan diri kalian dalam perkara ini.

Wahai para manusia, di tengah-tengah kalian telah banyak orang-orang kafir yang memenuhi daratan negeri kalian, maka barangsiapa yang bangkit dari kalian untuk menyelidiki mereka dan berjaga-jaga dari pengaruh mereka.[3]Wahai para Ulama’, dalam perkara semacam ini maka bersungguh-sungguhlah dah fanatiklah!

Adapun fanatik kalian dalam perkara cabang (furu’) agama dan tindakan kalian membawa manusia pada satu madzhab dan satu pendapat maka ini adalah perkara yang Allah Ta’ala tidak akan menerimanya dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan ridho dengannya. Dan tidaklah kalian membawa mereka kepada yang demikian itu kecuali hanya murni fanatisme, saling bersaing, dan saling dengki. Seandainya Imam Asy Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Ibnu Hajar, dan Imam Ramli masih hidup niscaya mereka akan mengingkari kalian dengan pengingkaran yang sangat keras, dan berlepas diri dari apa yang kalian lakukan dan pengingkaran kalian dalam perkara-perkara yang Ulama’ berselisih di dalamnya.

Dan kalian akan melihat orang-orang awam, yang tidak bisa dihitung banyaknya kecuali Allah Ta’ala yang tahu, mereka meninggalkan shalat. Padahal  balasan bagi orang yang meninggalkan shalat menurut Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad adalah dipenggal lehernya. Malah kalian tidak mengingkari hal ini kepada mereka (orang-orang awam). Bahkan salah seorang dari kalian mungkin melihat tetangganya meninggalkan shalat, akan tetapi kalian diam kepada mereka. Kemudian malah kalian bertingkah mengingkari perkara-perkara cabang yang para ahli fiqih saja berselisih di dalamnya. Dan kalian tidak mengingkari perkara-perkara haram yang dilakukan masyarakat seperti zina, riba, minum khamer, dan lain-lainnya. Kalian tidak mau merubah hal itu karena Allah Ta’ala, akan tetapi kalian sempat merubah-rubah pendapat Asy Syafi’i dan Ibnu hajar. Maka apa yang kalian lakukan itu akan mengantarkan pada perpecahan dan memutus tali silaturrahim, serta orang-orang bodoh akan menguasai kalian, dan jatuhlah wibawa kalian dihadapan para manusia. Dan orang-orang bodoh akan berkata tentang kedaan kalian, maka perkataan mereka tentang kalian akan membinasakan mereka, karena daging kalian adalah beracun dalam kondisi apapun, karena kalian adalah Ulama’. Dan diri kalian akan binasa disebabkan dosa-dosa besar yang kalian lakukan.

Wahai para Ulama’, ketika kalian melihat seseorang melakukan suatu amalan berdasarkan pendapat seseorang yang boleh diikuti dari para imam madzhab yang diakui, walaupun pendapatnya marjuh (lemah), jika kalian merasa tidak cocok dengan mereka maka janganlah berbuat kejam kepada mereka, akan tetapi bimbinglah mereka dengan lembut. Jika mereka tidak mau mengikutimu, maka janganlah kalian jadikan mereka sebagai musuh. Dan permisalan orang yang melakukan hal ini adalah bagaikan orang yang membangun istana tapi dengan jalan menghancurkan kota. Dan janganlah kalian menjadikan hal ini sebagai sebab terjadinya perpecahan, pertentangan, pertengkaran. Maka ini adalah kejahatan yang merata dan dosa besar, yang merobohkan bangunan umat Islam, dan menutup pintu-pintu kebaikan di hadapan mereka.
Oleh karena itulah Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari pertentangan, dan memberi peringatan kepada mereka akan akibat dari pertentangan yang sangat buruk dan buah-buahnya yang sangat menyakitkan. Allah Ta’ala berfirman :
وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ
(dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu)[4]

Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hari-hari ini banyak sekali pelajarannya serta  mengandung nasehat yang banyak, dan bisa mengambil faidah dari semua itu orang-orang yang cerdas. Dan kebanyakan yang bisa mengambil faidah dari semua ini memang mereka para pemberi nasihat yang cerdas.

Igatlah nasihat-nasihat dari peristiwa yang telah berlalu ini dalam setiap kesempatan. Lalu sekarang tinggal apakah kita sudah mampu untuk mengambil pelajaran dan nasihat, serta sadar dari kemabukan kita, dan ingat akan kelalaian kita. Kita tahu kemenangan kita tergantung pada tolong-menolong dan persatuan kita, serta beningnya hati dan keikhlasan kita kepada yang lain. Atau kita akan bernaung di bawah perpecahan, saling menghina, memecah belah, serta kemunafikan, kedengkian, dan kesesatan yang lama. Padahal agama kita satu, agama Islam, madzhab kita satu, madzhab Imam Asy Syafi’i, dan daerah kita satu, Jawa. Dan kita semua termasuk Ahlussunnah Waljama’ah. Maka demi Allah, bukanlah semua itu kecuali bencana yang nyata dan kerugian yang besar.

Wahai kaum Muslimin, bertakwalah kepada Allah, kembalilah pada kitab Rabb kalian, amalkanlah sunnah-sunnah Nabi kalian, dan teladanilah para salaf (pendahulu) kalian yang shalih, niscaya kalian akan beruntung sebagaimana mereka beruntung, dan kalian akan bahagia sebagaimana mereka bahagia. Bertakwalah kepada Allah, dan perbaikilah orang-orang yang berselisih diantara kalian. “Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan”[5]. Semoga Allah Ta’ala meliputi kalian dengan kasih sayang-Nya, dan meliputi kalian dengan kebaikan-Nya. “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang  yang berkata "Kami mendengarkan,” padahal mereka tidak mendengarkan.”[6]

Wassalamu fil mabda’ walkhitaam


Muhammad Hasyim Asy’ari
Tebu Ireng, Jombang





Ahad, 18 Shafar 1435 H/ 22 Desember 2013
 Diterjemahkan oleh Hasim Ikhwanudin, dari kitab Iryadus Sari fi Jam'i Mushonnafati Asy Syaikh Hasyim Asy'ariy



[1] QS. Al Hujurat : 10
[2] Dalam redaksi shahihain dari Sahabat Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau bersabda :
لا تباغضوا ، ولا تحاسدوا ، ولا تدابروا ، وكونوا عباد الله إخوانا , tambahan redaksi Beliau penerjemah belum tahu riwayatnya. Hadits ini juga ada dalam Al Arba’in An Nawawiyah hadits no. 35 dengan redaksi yang agak beda.
[3] Saya kurang paham dengan kalimat ini, namun kemungkinan intinya : “Hendaknya kita bangkit untuk waspada akan pengaruh mereka”. Karena zaman Beliau memang Indonesia sedang dijajah orang-orang kafir.
[4] QS. Al Anfal : 46
[5] QS. Al Maidah : 2
[6] QS. Al Anfal : 21

Jumat, 20 Desember 2013

Muqodimah Kitab At Tanbihat Al Wajibat Karya K.H. Hasyim Asy'ari Rahimahullah

(كلُّ بِدعةٍ ضللةٌ)
Hadits yang mulia
(Setiap perkara yang baru dalam agama (bid’ah) adalah sesat[1])



بسم الله الرّحمن الرّحيم

Segala puji bagi Allah Dzat yang mencerai beraikan kegelapan jahiliyah dengan cahaya syari’at yang dibawa oleh penghulu para manusia dan jin (Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam-pent), Maha Suci Dzat yang sungguh agung urusan-NyaSetiap waktu Dia dalam kesibukan”[2]. Aku memuji-Nya dengan pujian yang terus menerus dari lubuk hati yang paling dalam dan dari lisan yang tulus. Dan aku juga bersyukur kepada-Nya dengan syukur yang tiada hentinya dengan segenap hati dan anggota badan. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah yang Maha Tunggal, yang tiada sekutu bagi-Nya, yang disucikan dari berjasad dan memiliki arah serta waktu dan tempat[3]. Dan aku bersaksi bahwa penghulu kami Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah hamba dan utusan-Nya, Nabi yang membawa kasih sayang, yang akan memberi syafaat[4] kepada umatnya, akhlak Beliau adalah Al Qur’ansemoga Allah memberi shalawat[5] dan salam-Nya kepada Beliau, keluarganya, sahabatnya, dan kepada seluruh Nabi dan Rasul serta semua hamba-hamba Allah yang shalih, malaikat-malaikat yang dekat (dengan Allah), dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari pembalasan di setiap tempat dan waktu, selama silih bergantinya siang dan malam.

Amma ba’du :

Seorang hamba yang lemah yang rusak, penuh dengan cacat dan melampaui batas serta lemah badannya, Muhammad Hasyim bin Muhammad Asy’ari Al Jumbani, semoga Allah mempergaulinya dengan kelembutan-Nya yang tersembunyi lagi dekat, mengatakan :

Pada malam Senin tanggal 25 Rabi’ul Awwal tahun 1355 Hijriyah, aku melihat  banyak orang dari para pelajar yang mencari ilmu pada sebagian pondok pesantren melakukan perkumpulan yang bernama “Maulid”, dan didatangkan untuk acara itu alat-alat musik, kemudian membaca Al Qur’an dan hadits-hadits yang warid[6] tentang permulaan penciptaan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan apa saja yang terjadi saat kelahiran Beliau yang  berupa tanda-tanda dan seterusnya, termasuk membaca siroh (sejarah) Beliau yang diberkahi. Namun kemudian mereka melakukan perbuatan mungkar, yaitu saling memukul dan saling dorong-dorongan yang diberi nama “pencak” dan “tinju.” Kemudian dipukullah rebana setiap kali acara itu dilakukan, dengan disaksikan para wanita ajnabiyah[7] dari jarak yang sangat dekat. Sehingga para wanita itu bisa menonton mereka (yang bermain pencak dan tinjau), diiringi musik serta sandiwara dan permainan-permainan yang menyerupai perjudian dan berkumpulnya pria serta wanita campur bawur untuk menonton, dan tarian-tarian yang membuat mereka tenggelam didalamnya dengan tertawa dan berteriak-teriak di dalam masjid dan sekitarnya. Maka kemudian akupun melarang mereka dan mengingkari mereka dari perbuatan-perbuatan mungkar itu, lalu merekapun bubar dan pergi.

Dan setelah perkara ini terjadi sebagaimana aku gambarkan, aku khawatir perbuatan yang hina semacam ini menyebar ke berbagai tempat, dan orang-orang awam yang ikut-ikutan melakukan hal itu menambah-nambahi dengan kemaksiatan-kemaksiatan. Dan bisa jadi perbuatan ini akan membawa mereka keluar dari agama Islam. Maka aku menulis peringatan ini sebagai nasihat untuk agama dan sebagai bimbingan bagi kaum muslimin. Dan aku memohon kepada Allah subhanahu wata'ala agar menjadikan ini ikhlas hanya mengharapkan wajah-Nya yang mulia, sesungguhnya Dia adalah Dzat yang memiliki karunia yang besar.[8]

(diterjemahkan oleh Hasim Ikhwanudin, 16 Shafar 1435 H/ 20 Desember 2013)






[1] HR. Muslim, hadits ini asli ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari pada awal muqoddimah kitab ini
[2] QS. Ar Rahman : 29
[3] Ini adalah aqidah Asy’ariyah, Fakhruddin Ar Rozi menyebutkan hal ini dalam kitabnya Tahsiisut Taqdiis
[4] Tentunya setelah mendapatkan izin dari Allah dan umat Beliau yang berhak mendapatkan syafa’at adalah orang yang memenuhi kriteria: ahlit tauhid dan diridhoi oleh Allah (orang yang memberi syafaat diizinkan oleh Allah subhanahu wata'ala untuk memberi syafaat kepadanya)
[5] Shalawat Allah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah pujian-Nya di hadapan para malaikat di langit
[6] Warid : datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
[7] Ajnabiyah : wanita yang bukan mahram dan bukan istri, yang tidak boleh memandangnya dan berinteraksi dengan mereka kecuali ada kebutuhan yang dibenarkan syariat
[8] Tanbihat Al Wajibat liman Yashna’ul Maulid bil Munkarat, KH. Hasyim Asy’ari rahimahullah, hal. 7-10, terbitan Maktabah At Turots Al Islamiy, Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang.

Bagaimanakah Seharusnya Menghadapi Penguasa yang ‎Berhati “Syetan”?‎

Faidah kajian kitab Al Ishbah bersama Ustadz Aris Munandar, SS., MPI. ( selasa, 17 Desember 2013)



عن حذيفة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : ( يكون بعدي أئمة لا يهتدون بهداي ولا يستنون بسنتي وسيقوم فيهم رجال قلوبهم قلوب الشياطين في جثمان إنس). قلت: كيف أصنع إن أدركت ذلك؟، قال: ( تسمع وتطيع للأمير وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك فاسمع وأطع ) رواه مسلم 
(٤٨٩١)

Dari sahabat Hudzaifah radhiyallahu’anhu, dia mengatakan : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Akan ada di kalangan umatku nanti para penguasa yang mereka tidak mengamalkan petunjukku, dan mereka tidak mengamalkan sunnah-sunnahku. Dan akan bangkit ditengah-tengah mereka para penguasa yang hatinya bagaikan hati syetan yang memakai tubuh manusia.  Kemudian aku pun bertanya : “Apa yang harus saya lakukan jika menjumpai hal itu?, lalu Beliau menjawab : “Dengarkanlah dan taatilah perintah Pemimpin, walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka tetap dengarkanlah dan taatilah perintahnya.” HR. Muslim (4891)

Taat yang seperti apa yang harus kita lakukan kepada pemimpin yang dzalim?


  عن عبد الله بن عمر رضي الله عنه, عن النبيّ صلّى الله عليه وسلّم قال : (السمع والطاعة على المرء 
المسلم فيما أحب وكره ما لم يؤمر بمعصية ، فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة) رواه البخاري (٢٧٩٦)

Dari sahabat Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau bersabda : “Wajib mendengarkan dan taat bagi seorang muslim (kepada penguasa) dalam perkara yang dia suka atau dia benci, selama tidak memerintahkan kepada berbuat maksiat. Jika dia memerintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak ada kewajiban mendengarkan dan taat kepadanya.” HR. Bukhari (2796)  

Faidah :
1. Kewajiban mendengarkan dan taat pada perintah Penguasa kaum Muslimin selama tidak memerintahkan pada perbuatan maksiat
2. Perintah Nabi kepada umatnya untuk tetap mendengarkan dan taat kepada penguasa yang dzalim adalah sebuah petunjuk yang sangat mulia, karena jika kita memberontak pada penguasa yang dzalim maka kita tidak hanya akan dipukuli punggungnya dan dirampas hartanya saja, tapi akan menimbulkan pertumpahan darah kaum muslimin.
3. Jika sikap kepada penguasa yang jelas berhati syetan tapi bertubuh manusia yang disebutkan hadits saja seperti demikian, maka bagaimanakah lagi jika kita tidak mampu memastikan apakah penguasa kita berhati syetan, padahal perkara hati tidaklah ada yang tahu kecuali Allah.
4. Kelirunya sebagian saudara kita sesama muslim yang terlalu semangat melawan penguasa, padahal mereka belum sampai pada taraf menganiaya dan merampas harta rakyatnya dengan dzalim, sementara penguasa yang  jelas disebutkan dalam hadits “manusia yang berhati syetan” saja Nabi perintahkan untuk mendengarkannya dan mentaati perintahnya.


Wallahul muwaffiq, washallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa’ala alihi washahbihi wa sallam, walhamdulillahirobbil’alamin 

Kamis, 19 Desember 2013

Kegiatan Mengaji TPA Al Furqon Putra

No coment
Top Hadi

Ahmad Daris


Danang

Kholqi ngajar Cahyo
Mas Fajar, ndelok opo e...


Dua Senja di Masjid Pogung Dalangan

"Tinimbang neng ngumah bingung, Mas."


Itulah kalimat yang saya dengar tiap bertemu dengan mbah-mbah yang bisa saya katakan rangking satu untuk kehadiran sholat jama'ah (untuk sholat  isya'ain) di MPD. Beliau adalah seorang kakek yang sudah tua (ealah jelas... kakek-kakek ya tua). Namun satu hal yang membuat saya diam-diam menyembunyikan rasa kagum padanya, sekitar satu jam sebelum maghrib tiba, beliau sudah datang dengan penuh kesungguhan. Mungkin anda akan berkomentar,"Ah biasa, kan orang yang sudah tua emang nalurinya begitu." Saya katakan pada umumnya Betul, tapi untuk kasus ini berbeda, dan mungkin langka. Mau tahu apa yang dia lakukan menunggu waktu maghrib tiba? (Ya lah secara..., sejam menjelang maghrib kakek-kakek ngapain di mesjid kurang kerjaan aja, prediksi kita)

"Mas sulake nengdi yo mas, aku tak resik-resik koco iki. Tinimbang neng ngumah bingung, Mas"


Coba anda bayangkan, yang jaga mesjid aja kadang-kadang lupa sama jadwal piketnya. Lha ini ada mbah-mbah tua renta datang gasik ke mesjid buat bantuin bersih-bersih kaca, walaupun hanya sekedar kaca, tapi setiap sore. Dia juga biasanya yang nata kesed di tangga depan, sampe pada pekerjaan mel-layout pengimaman coba. Sungguh kadang saya malu tiada tara. Saya yang mandi pakai air mesjid, listrik pakai listrik mesjid, tapi kok.. -(
Pye meneh, keadaan.... mahasiswa sok sibuk... sedih.

Terkadang saya pun cerita-cerita dengan beliau ketika saya sedang ada jadwal piket. Cerita dia bekerja di sawah kakinya nginjak beling, cerita giginya dicabut anak Kedokteran Gigi yang KOAS sehingga membuat dia jadi puyeng, cerita dia tidak dikasih makan atau sarapan, cerita tidak diurusi keluarganya. Pokoknya cerita yang bikin hati memelas. Tapi saya sungguh kagum dengan beliau, tegar di atas semua nasibnya itu. Terkadang kalau di MPD sedang ada makanan saya ambilkan sebagian jatah takmir untuknya. Seneng banget rasanya melihatnya dapat makanan sambil bilang," Maturnuwun yo mas, iki keno nggo mangan engko."

Tidak kalah mengagumkannya lagi adalah saat tiba hari jumat. (apa emang yang mengagumkan?)
Bisa dibilang tiap jumat yang dapat pahala Onta adalah beliau. Gimana tidak wong datangnya saja jam sebelas, kadang kurang malah. Dia cari-cari kotak infak terus ditata, habis itu nata buletin. Sampe saya kadang dikasih saran naro kotak infaknya yang pas shof mana. Namun ada cerita memilukan yang menimpanya pada suatu jumat. Ceritanya begini.

Selesai salam sholat jumat, tiba-tiba di shof belakang ada kegaduhan, kayak ada sesuatu yang bermasalah. Ternyata benar ada masalah. Yaitu mbah-mbah itu hampir tergeletak pingsan. Dengan wajah pucat, dan tubuh yang lemas. Maka spontan saudara kami Damar Romadhoni pun mesankan teh anget ke warung "Burjo" depan MPD. (kayaknya dibikinin nastel juga kalau ndak salah, hehe mbuh dink lali... -). Maka dipanggillah keluarganya untuk membawa Beliau pulang. Sungguh kasihan. 

Lalu siapakah beliau mbah-mbah yang bisa saya katakan maskotnya mbah-mbahPogung Dalangan ini?


Supaya anda tahu sholatlah berjama'ah di Masjid Pogung Dalangan, kemudian anda cari sorang kakek yang celananya tidak MUSBIL, kalau lagi ndak pake sarung, atau tunggu dia sebelum maghrib tiba. Kemudian ngapain? Ya kenalan lah, masa ditimpukin. Biar tahu namanya.

Semoga Allah Ta'ala menambah waktu-waktu kedatangan beliau di Lima Waktu sholat, karena beliau belum saya jumpai pada sholat shubuh. Dzuhur Ashar terkadang. Semoga Allah memberikan kepada beliau kemudahan beribadah kepada-Nya karena semakin Senjanya usia. 

Beliaulah senja MPD yang pertama.

====================================

"Mbah poso mboten, Mbah? tanyaku. "Oh nggih mas, niki kulo lagi noto mukenah sing podo modal-madul, wong mbak-mbak kok podo kemproh banget le sholat mukenane ora ditoto meneh." jawabnya.


Dialog saya dengan seorang nenek yang kalau sholat di MPD pasti puuaaling terakhir keluar. Kebalikannya yang mbah-mbah kakung tadi. Beliau termasuk mbah-mbah putri yang paling rajin sholat di MPD, hampir lima waktu sholat dia pasti ikut. Biasanya setelah MPD ngadain buka puasa senin kamis bersama dan ada turahan nasi saya menberi beliau satu kotak nasi. Karena memang beliau juga rajin puasa senin kamis. 

Yang menarik dari mbah-mbah ini, Nyonya Gutheng namanya, adalah dialah yang tiap hari nglipatin mukena-mukena yang ada di tempat sholat putri yang berantakan, habis dipakai mbak-mbak yang tidak bertanggung jaawab. Padahal ibu-ibu yang lebih muda juga banyak lho. Tapi yang peduli cuma dia ples Ibunya mas Damar Romadhoni kadang, Budhe Supri begitu panggilan dari mas Erlan Iskandar, saingan rajinnya dari jama'ah putri. Kejadian lucu yang saya sering alami dengan beliau adalah.

"Mas kok lampune dipateni, wong aku durung rampung sholat, dadi tak cepeti iki," sergahnya dengan nada jengkel setelah saya mematikan saklar lampu tempat sholat putri."Aduh ngapunten mbah, kulo mboten ngertos, wong jarkulo sampun sepi, hehhehhe," jawabku tanpa merasa berdosa.



Dialah senja kedua MPD.

Kejadian ini tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Sehingga kadang saya harus tiarap melihat (baca: mengintip) melalui celah di bawah hijab apakah masih ada jamaah putri atau tidak. Kalau masih ada ( apalagi akhwat, biasanya saya baru merasa berdosa, yang saya kira nenek-nenek malah) maka lampunya saya biarin nyala dulu.

Semoga belaiu di ujung usia senjanya selalu diberkahi umurnya untuk beribadah kepada Allah Ta'ala. Dan diberikan rasa cinta kepada Masjid Pogung Dalangan. 


Faidah yang dapat kiat ambil dari cerita ini adalah:

1. Sesungguhnya orang-orang yang hatinya diberi rasa cinta kepada masjid adalah orang-orang baik yang Allah janjikan dengan naungan-Nya pada hari kiamat kelak
2. Sudah menjadi keharusan kita untuk berbakti kepada kedua orang tua, karena berbakti kepada keduanya adalah pintu yang akan mengantarkan kita ke surga.
3. Kita harus memperhatikan dan melaksanakan amanah yang diberikan kepada kita, karena tidaklah sempurna iman seseorang yang tidak amanah
4. Jadilah orang-orang yang meraup pahala ketika orang lain lalai darinya, karena itu memiliki keutamaan yang besar
5. Kepada para takmir hendaknya bisa merasa ..... ya   -)

Mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan.
washollallahu 'ala nabiyyina Muhammadin wal hamdulillahi Robbil 'aalamiin

Selasa, 13 Shofar 1435 H/ 17 Desember 2013 M di MPD, menjelang Dzuhur

========================================
catatan :
Redaksi perkataan tokoh saya riwayatkan secara ma'nawi tidak sama persis.
Cerita ini nyata, bukan fiktif yang diakarang, yang disusun oleh Takmir Mahasiswa Masjid Pogung Dalangan yang berasal dari desa Tambakmulyo.

Amalan Shalih Saat Turun Hujan



Apa saja amalan shalih yang bisa dilakukan saat turun hujan? Berikut Muslim.Or.Id sarikan dari berbagai penjelasan ulama.
Segala puji bagi Allah, pada saat ini Allah telah menganugerahkan kita suatu karunia dengan menurunkan hujan melalui kumpulan awan. Allah Ta’ala berfirman,
أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ (68) أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ (69)
Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?” (QS. Al Waqi’ah [56] : 68-69)
Begitu juga firman Allah Ta’ala,
وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14)
Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah.” (QS. An Naba’ [78] : 14)
Allah Ta’ala juga berfirman,
فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ
Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya.” (QS. An Nur [24] : 43) yaitu dari celah-celah awan.[1]
Merupakan tanda kekuasaan Allah Ta’ala, kesendirian-Nyadalam menguasai dan mengatur alam semesta, Allah menurunkan hujan pada tanah yang tandus yang tidak tumbuh tanaman sehingga pada tanah tersebut tumbuhlah tanaman yang indah untuk dipandang. Allah Ta’ala telah mengatakan yang demikian dalam firman-Nya,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الأرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushshilat [41] : 39). Itulah hujan, yang Allah turunkan untuk menghidupkan tanah yang mati. Sebagaimana pembaca dapat melihat pada daerah yang kering dan jarang sekali dijumpai air seperti Gunung Kidul, tatkala hujan itu turun, datanglah keberkahan dengan mekarnya kembali berbagai tanaman dan pohon jati kembali hidup setelah sebelumnya kering tanpa daun. Sungguh ini adalah suatu kenikmatan yang amat besar.
Berikut beberapa amalan shalih saat turun hujan:
[1] Keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Tatkala Mendung
Ketika muncul mendung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu khawatir, jangan-jangan akan datang adzab dan kemurkaan Allah. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى نَاشِئاً فِي أُفُقٍ مِنْ آفَاِق السَمَاءِ، تَرَكَ عَمَلَهُ- وَإِنْ كَانَ فِي صَلَاةٍ- ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ؛ فَإِنْ كَشَفَهُ اللهُ حَمِدَ اللهَ، وَإِنْ مَطَرَتْ قَالَ: “اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً”
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melihat awan (yang belum berkumpul sempurna, pen) di salah satu ufuk langit, beliau meninggalkan aktivitasnya –meskipun dalam shalat- kemudian beliau kembali melakukannya lagi (jika hujan sudah selesai, pen). Ketika awan tadi telah hilang, beliau memuji Allah. Namun, jika turun hujan, beliau mengucapkan, “Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah jadikanlah hujan ini sebagi hujan yang bermanfaat].”[2]
’Aisyah radhiyallahu ’anha berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا رَأَى مَخِيلَةً فِى السَّمَاءِ أَقْبَلَ وَأَدْبَرَ وَدَخَلَ وَخَرَجَ وَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ ، فَإِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ سُرِّىَ عَنْهُ ، فَعَرَّفَتْهُ عَائِشَةُ ذَلِكَ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « مَا أَدْرِى لَعَلَّهُ كَمَا قَالَ قَوْمٌ ( فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ ) »
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam apabila melihat mendung di langit, beliau beranjak ke depan, ke belakang atau beralih masuk atau keluar, dan berubahlah raut wajah beliau. Apabila hujan turun, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam mulai menenangkan hatinya. ’Aisyah sudah memaklumi jika beliau melakukan seperti itu. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallammengatakan, ”Aku tidak mengetahui apa ini, seakan-akan inilah yang terjadi (pada Kaum ’Aad) sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), ”Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka.” (QS. Al Ahqaf [46] : 24)”[3]
Ibnu Hajar mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan bahwa seharusnya seseorang menjadi kusut pikirannya jika ia mengingat-ingat apa yang terjadi pada umat di masa silam dan ini merupakan peringatan agar ia selalu merasa takut akan adzab sebagaimana ditimpakan kepada mereka yaitu umat-umat sebelumnya.”[4]
[2] Mensyukuri Nikmat Turunnya Hujan
Apabila Allah memberi nikmat hujan, dianjurkan bagi seorang muslim dalam rangka bersyukur kepada-Nya untuk membaca do’a,
اللَّهُمَّ صَيِّباً ناَفِعاً
Allahumma shoyyiban naafi’aa [Ya Allah, turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].
Itulah yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ucapkan ketika melihat turunnya hujan. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummul Mukminin, ’Aisyah radhiyallahu ’anha,
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ « اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً »
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”.[5]
Ibnu Baththol mengatakan, ”Hadits ini berisi anjuran untuk berdo’a ketika turun hujan agar kebaikan dan keberkahan semakin bertambah, begitu pula semakin banyak kemanfaatan.”
Al Khottobi mengatakan, ”Air hujan yang mengalir adalah suatu karunia.”[6]
[3] Turunnya Hujan, Kesempatan Terbaik untuk Memanjatkan Do’a
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni[7]mengatakan, ”Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ
Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan : [1] Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan [3] Saat hujan turun.”[8]
Begitu juga terdapat hadits dari Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ
Dua do’a yang tidak akan ditolak: [1] do’a ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan.[9]
[4] Ketika Terjadi Hujan Lebat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat pernah meminta diturunkan hujan. Kemudian ketika hujan turun begitu lebatnya, beliau memohon pada Allah agar cuaca kembali menjadi cerah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,
اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
“Allahumma haawalaina wa laa ’alaina. Allahumma ’alal aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari [Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan].”[10]
Ibnul Qayyim mengatakan, ”Ketika hujan semakin lebat, para sahabat meminta pada Nabishallallahu ’alaihi wa sallam supaya berdo’a agar cuaca kembali menjadi cerah. Akhirnya beliau membaca do’a di atas.”[11]
Syaikh Sholih As Sadlan mengatakan bahwa do’a di atas dibaca ketika hujan semakin lebat atau khawatir hujan akan membawa dampak bahaya.[12]
[5] Mengambil Berkah dari Air Hujan
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Kami pernah kehujanan bersama Rasulullahshallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى
Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan.”[13]
An Nawawi menjelaskan, “Makna hadits ini adalah hujan itu rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut.”[14]
An Nawawi selanjutnya mengatakan, ”Dalam hadits ini terdapat dalil bagi ulama Syafi’iyyah tentang dianjurkannya menyingkap sebagian badan (selain aurat) pada awal turunnya hujan, agar terguyur air hujan tersebut. Dan mereka juga berdalil dari hadits ini bahwa seseorang yang tidak memiliki keutamaan, apabila melihat orang yang lebih berilmu melakukan sesuatu yang ia tidak ketahui, hendaknya ia menanyakannya untuk diajari lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya pada yang lain.”[15]
Dalam hal mencari berkah dengan air hujan dicontohkan pula oleh sahabat Ibnu ‘Abbas. Beliau berkata,
أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ، يَقُوْلُ: “يَا جَارِيَّةُ ! أَخْرِجِي سَرْجِي، أَخْرِجِي ثِيَابِي، وَيَقُوْلُ: وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكاً [ق: 9].
”Apabila turun hujan, beliau mengatakan, ”Wahai jariyah keluarkanlah pelanaku, juga bajuku”.” Lalu beliau membacakan (ayat) [yang artinya], ”Dan Kami menurunkan dari langit air yang penuh barokah (banyak manfaatnya).” (QS. Qaaf [50] : 9)” [16]
[6] Dianjurkan Berwudhu dengan Air Hujan
Ibnu Qudamah mengatakan, ”Dianjurkan untuk berwudhu dengan air hujan apabila airnya mengalir deras.”[17]
Dari Yazid bin Al Hadi, apabila air yang deras mengalir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan,
اُخْرُجُوا بِنَا إلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللَّهُ طَهُورًا ، فَنَتَطَهَّرَمِنْهُ وَنَحْمَدَ اللّهَ عَلَيْهِ
Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci.” Kemudian kami bersuci dengan air tersebut dan memuji Allah atas nikmat ini.”[18]
Namun, hadits di atas adalah hadits yang lemah karena munqothi’ (terputus sanadnya) sebagaimana dikatakan oleh Al Baihaqi[19].
Ada hadits yang serupa dengan hadits di atas dan shahih,
كَانَ يَقُوْلُ إِذَا سَالَ الوَادِي ” أُخْرُجُوْا بِنَا إِلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللهُ طَهُوْرًا فَنَتَطَهَّرُ بِهِ “
“Apabila air mengalir di lembah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci”. Kemudian kami bersuci dengannya.”[20]
[7] Janganlah Mencela Hujan
Sungguh sangat disayangkan sekali, setiap orang sudah mengetahui bahwa hujan merupakan nikmat dari Allah Ta’ala. Namun, ketika hujan dirasa mengganggu aktivitasnya, timbullah kata-kata celaan, “Aduh!! hujan lagi, hujan lagi”.
Perlu diketahui bahwa setiap yang seseorang ucapkan, baik yang bernilai dosa atau tidak bernilai dosa dan pahala, semua akan masuk dalam catatan malaikat. Allah Ta’alaberfirman,
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50] : 18)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً ، يَرْفَعُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ
Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu. Dan ada juga seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang membuat Allah murka dan tidak pernah dipikirkan bahayanya lalu dia dilemparkan ke dalam jahannam.[21]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menasehatkan kita agar jangan selalu menjadikan makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa sebagai kambing hitam jika kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita sukai. Seperti beliau melarang kita mencela waktu dan angin karena kedua makhluk tersebut tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’alaberfirman,
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ ، يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ ، بِيَدِى الأَمْرُ ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.[22]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
لاَ تَسُبُّوا الرِّيحَ
Janganlah kamu mencaci maki angin.”[23]
Dari dalil di atas terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu) dan angin adalah sesuatu yang terlarang. Begitu pula halnya dengan mencaci maki makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa, seperti mencaci maki angin dan hujan adalah terlarang.
Larangan ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam) jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari kejelekan yang terjadi. Meyakini demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebut yang menjadikan baik dan buruk. Ini sama saja dengan menyatakan ada pencipta selain Allah. Namun, jika diyakini yang menakdirkan adalah Allah sedangkan makhluk-makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya sebagai sebab saja, maka seperti ini hukumnya haram, tidak sampai derajat syirik. Dan apabila yang dimaksudkan cuma sekedar pemberitaan, -seperti mengatakan, “Hari ini hujan deras, sehingga kita tidak bisa berangkat ke masjid untuk shalat”, tanpa ada tujuan mencela sama sekali maka seperti ini tidaklah mengapa.[24]
Intinya, mencela hujan tidak terlepas dari hal yang terlarang karena itu sama saja orang yang mencela hujan mencela Pencipta hujan yaitu Allah Ta’ala. Ini juga menunjukkan ketidaksabaran pada diri orang yang mencela. Sudah seharusnya lisan ini selalu dijaga. Jangan sampai kita mengeluarkan kata-kata yang dapat membuat Allah murka. Semestinya yang dilakukan ketika turun hujan adalah banyak bersyukur kepada-Nya sebagaimana telah diterangkan dalam point-point sebelumnya.
[8] Berdo’a Setelah Turunnya Hujan
Dari Zaid bin Kholid Al Juhani, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat shubuh bersama kami di Hudaibiyah setelah hujan turun pada malam harinya. Tatkala hendak pergi, beliau menghadap jama’ah shalat, lalu mengatakan, ”Apakah kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb kalian?” Kemudian mereka mengatakan,”Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ »
“Pada pagi hari, di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ’Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah)makadialah yang beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘Muthirna binnau kadza wa kadza’ (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada bintang-bintang.”[25]
Dari hadits ini terdapat dalil untuk mengucapkan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah) setelah turun hujan sebagai tanda syukur atas nikmat hujan yang diberikan.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, ”Tidak boleh bagi seseorang menyandarkan turunnya hujan karena sebab bintang-bintang. Hal ini bisa termasuk kufur akbar yangmenyebabkan seseorang keluar dari Islam jika ia meyakini bahwa bintang tersebut adalah yang menciptakan hujan. Namun kalau menganggap bintang tersebut hanya sebagai sebab, maka seperti ini termasuk kufur ashgor (kufur yang tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam). Ingatlah bahwa bintang tidak memberikan pengaruh terjadinya hujan. Bintang hanya sekedar waktu semata.”[26]
Demikian beberapa amalan yang bisa diamalkan ketikan hujan turun. Hanya Allah yang memberi taufik.
(*) Pembahasan di atas dicuplik dari buku karya penulis “Panduan Amalan Shalih di Musim Hujan” yang telah diterbitkan Pustaka Muslim.
Artikel Muslim.Or.Id


[1] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 24/262, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
[2] Lihat Adabul Mufrod no. 686, dihasankan oleh Syaikh Al Albani
[3] HR. Bukhari no. 3206
[4]Fathul Bari Syarh Shohih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al ’Asqolani Asy Syafi’i, 6/301, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H
[5] HR. Bukhari no. 1032, Ahmad no. 24190, dan An Nasai no. 1523.
[6] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 5/18, Asy Syamilah.
[7]Al Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hambal Asy Syaibani, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 2/294, Darul Fikr, Beirut, cetakan pertama, 1405 H.
[8] Dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Baihaqi dalam Al Ma’rifah dari Makhul secara mursal. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shohihul Jaami’ no. 1026.
[9] HR. Al Hakim dan Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shohihul Jaami’ no. 3078.
[10] HR. Bukhari no. 1014.
[11]Zaadul Ma’ad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/439, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14, tahun 1407 H.
[12] Lihat Dzikru wa Tadzkir, Sholih As Sadlan, hal. 28, Asy Syamilah.
[13] HR. Muslim no. 898.
[14]Syarh Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 6/195, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua, 1392 H.
[15]Syarh Muslim, 6/196.
[16] Lihat Adabul Mufrod no. 1228. Syaikh Al Albani mengatakan sanad hadits ini shohih dan hadits ini mauquf [perkataan sahabat].
[17]Al Mughni, 2/295.
[18] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro (3/359) dan Tuhfatul Muhtaj (1/567). Dikeluarkan pula oleh An Nawawi dalam Al Khulashoh (2/884) dan Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (1/216) [dinukil dari http://dorar.net ]. Lihat pula Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 1/439. Hadits ini adalah hadits yang lemah karena munqothi’ yaitu ada sanad yang terputus.
[19] Syaikh Al Albani dalam Dho’if Al Jaami’ no. 4416 mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
[20] HR. Muslim, Abu Daud, Al Baihaqi, dan Ahmad. Lihat Irwa’ul Gholilno. 679. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[21] HR. Bukhari no. 6478.
[22] HR. Bukhari no. 4826 dan Muslim no. 2246, dari Abu Hurairah.
[23] HR. Tirmidzi no. 2252, dari Abu Ka’ab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih.
[24] Faedah dari guru kami Ustadz Abu Isa hafizhohullah. Lihat buah pena beliau “Mutiara Faedah Kitab Tauhid”, hal. 227-231, Pustaka Muslim, cetakan pertama, Jumadal Ula 1428 H.
[25] HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71, dari Kholid Al Juhaniy.
[26]Kutub wa Rosa’il Lil ‘Utsaimin, 170/20, Asy Syamilah.