Senin, 14 April 2014

Pertemuan Pertama : Fa'il

Pelajaran Nahwu dengan Kitab Al Muyassar Fi ‘Ilmin Nahwi Jilid
Bersama Al Ustadz dr. Raehanul Bahraen –hafizhahullahu ta’ala-

الفاعل 

قال المؤلّف : الفاعل هو الإسم المرفوع الذي سبقه فعل مبنيّ للمعلوم أو ما في معناه  
نحو : أرسل الله الأنبياء , يا سالماً صدره , هو الطهور مائه الحلّ ميتته
Penulis berkata :
Fa’il yaitu isim yang ma’rfu (dirafa’) yang didahului oleh fi’il mabniy ma’lum atau yang semakna dengan fi’il mabniy ma’lum.

Selain ta’rif tersebut Beliau juga menambahkan beberapa ta’rif Fa’il yang lain :

11)      الفاعل هو ما وقع عليه الفعل
Ø  Ini terjadi ketika fi’il yang mendahului Fa’il adalah fi’il Laazim
Ø  Contoh : انقسم الفعلُ إلى ثلاثة أقسامٍ , fi’il terbagi menjadi tiga bagian.
Ø  Maka fa’ilnya yaitu (الفعلُ) terkena pekerjaan terbagi.

22)      الفاعل هو من فعل الفعلَ
Ø  Ini terjadi ketika fi’il yang mendahului Fa’il adalah fi’il muta’addiy.
Ø  Contoh[1] : قرأ محمّدٌ القرآنَ , Muhammad membaca Al Qur’an.
Ø  Maka Fa’ilnya yaitu (محمّدٌ) yang melakukan pekerjaan membaca.

Sebelum menerangkan contoh Beliau menerangkan terlebih dahulu beberapa kalimah yang bisa merafa’kan Fa’il selain fi’il yang disebut شبه الفعل, yaitu ada enam (6) :

11.  المصدر
22. الصفة المشبّهة   
yang merupakan isim fa’il dari fi’il-fi’il yang Lazim
33.  اسم الفاعل
44. اسم المفعول
55.  صيغة المبلّغة
66. اسم التفضيل

Contoh (kalimat) :

1.      أرسل اللهُ الأنبياء
Ø  Allah mengutus para Nabi
Ø  Kata اللهُ sebagai Fa’il, marfu’ dengan tanda dhommah ( )

2.       يا سليْماً صدرُهُ
Ø  Wahai orang yang lapang[2] dadanya.
Ø  Kata صدرُ sebagi Fa’il, marfu’ dengan tanda dhommah ( )
Ø  Pada contoh ini tidak ada fi’il tapi ada syibhul fi’li yaitu الصفة المشبّهة pada kata سليْماً

3.      هو الطهور مائُه الحلّ ميتتُه
Ø  (Laut itu) suci airnya halal bangkainya.
Ø  Failnya adalah ماءُ.. dan ميتةُ , marfu’ dengan tanda dhommah ( )
Ø  Pada contoh nomer 3 ini juga tidak ada fi’ilnya, tapi ada syibhul fi’li yaitu المصدر pada kata الطهور dan الحلّ

قال المؤلّف : ويدل هذا الإسم على من فعل الفعل أو اتّصف به
نحو : خلق الله السموات والأرض ,﴿ ty  ظهر الفسادُ في البرّ والبحر [3]
Dan Isim ini menunjukkan pada orang yang melakukan pekerjaan atau disifati dengan fi’il.
Contoh :
·         خلق اللهُ السمواتِ والأرضَ
v  Fa’il pada contoh ini adalah yang melakukan pekerjaan
·          ظهر الفسادُ في البرّ والبحر
v  Fa’il pada contoh ini adalah disifati dengan Fi’il




[1] Tambahan saya sendiri, bukan Ustadz Raehan yang memberi contoh
[2] Selamat dari rasa dengki dan lain-lain(red)
[3] QS. Ar Ruum : 41

Kamis, 02 Januari 2014

Penciptaan Cahaya Menggunakan Kata “Ja’ala” Bukan “Khalaqa”, kenapa ya..?





Segala puji bagi Allah Ta’ala, shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kenapa di dalam Al Qur’an penciptaan “Nur” atau cahaya menggunakan kata “Ja’ala”(جعل) bukan menggunakan kata “Khalaqa” (خلق) ....?[1]


 “الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ [2]

“Ja’ala” (جعل) bisa bermakna “khalaqa” (خلق) yang artinya menciptakan. Namun apa sih faidah dari penggunaan kata “ja’ala”  kalau sama-sama artinya menciptakan? Kenapa tidak “khalaqa” saja wong artinya juga sama? Berikut sedikit penjelasannya.

“Ja’ala”  sendiri memiliki dua makna tergantung konteks yang sedang dibahas. Terkadang “ja’ala” bisa bermakna ”khalaqa” (menciptakan)  jika dia hanya membutuhkan satu maf’ul bih. Tapi “ja’ala” bisa bermakna “shayyara” (menjadikan) jika dia membutuhkan dua maf’ul bih[3]. Contoh :

1. Dalam surat Nuh ayat 16 :
 “وَجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا
“...(dan Dia) menjadikan matahari sebagai pelita.”
Kata “ja’ala” dalam ayat ini menunjukkan makna “shayyara” (menjadikan) yang berkonsekuensi membutuhkan dua maf’ul bih yaitu الشَّمْسَ dan سِرَاجًا , dua-duanya dibaca manshub. Dan ayat yang lain.

2. Dalam surat Al an’am ayat 1 :

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ

“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang, Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.”

Dalam ayat ini kata “ja’ala” bermakna “khalaqa” (menciptakan), maka dia hanya membutuhkan satu maf’ul bih yaitu الظُّلُمَاتِ (kegelapan) atau النُّورَ (cahaya). Lho kok satu maf’ul bih ? Ya kan antara الظُّلُمَاتِ dan النُّورَ ada huruf ‘athaf و (wau), maka kedudukan dua kata itu setara.

Nah, dalam bahasa arab suatu kata ketambahan satu huruf saja faidahnya jadi macam-macam. Apalagi kalau yang digunakan  beda kata maknanya sama, pasti memeiliki banyak hikmah dan faidah. Maka Syaikh Ibnul ‘Utsaimin[4] memiliki penjelasan menarik terkait hal ini.

Di antara hikmahnya, seperti diterangkan oleh Beliau, bahwa ada Ulama yang mengatakan tentang hikmah penggunaan kata “ja’ala” dan “khalaqa” ini adalah sebagai variasi di dalam berbahasa, yaitu penggunaan kata yang berbeda yang memiliki kesamaan makna. Dan hal ini juga menunjukkan atas keindahan dalam berbahasa yang biasa disebut Balaghah.

Dan ada juga yang mengatakan bahwa penciptaan cahaya menggunakan kata “ja’ala” itu untuk menunjukkan bahwa cahaya itu tidak akan terlihat sebagai cahaya kecuali membutuhkan benda yang lain untuk memantulkannya. Sebagai contoh sinar matahari. Maka sinar matahari akan terlihat terang jika dia berhadapan dengan benda lain yang memantulkannya. Sinar matahari yang dipantul oleh pemukaan putih jauh lebih terang daripada yang dipantulkan oleh permukaan hitam.

Ustadz Aris Munandar hafizhahullah menerangkan[5] :
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa penciptaan cahaya itu melazimkan penciptaan pemantulnya. Karena cahaya tidak akan terlihat terang jika dia tidak dipantulkan oleh benda lain yang memantulkannya. Maka penggunaan kata “ja’ala” pada penciptaan cahaya menyiratkan penciptaan pemantulnya juga. Jadi kata “ja’ala”  dalam Al An’am ayat pertama tetap  membutuhkan pada dua maf’ul bih secara tersirat. Meskipun secara zhahir ayat kata “ja’ala” itu hanya memiliki satu maf’ul bih.

Hikmah yang lain dari penggunaan kata “ja’ala” untuk penciptaan cahaya adalah karena kegelapan dan cahaya itu bisa memiliki dua makna, makna kongkrit dan makna abstrak. Kegelapan malam misalnya, merupakan kegelapan yang kongkrit yang bisa dirasakan dengan indra manusia, sedangkan kebodohan adalah contoh kegelapan dengan makna abstrak. Cahaya yang terang di siang hari adalah contoh cahaya dalam makna kongkrit. Adapun cahaya ilmu dan iman adalah cahaya dalam makna abstrak. Termasuk cahaya ilmu dan iman adalah bercahayanya hati dengan firman Allah. Dan kita tahu firman Allah bukanlah makhluk, lalu bagaimana dengan ayat yang menerangkan bahwa Al Qur’an itu disebut cahaya? Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا

Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran).[6]

Maka Allah menggunakan kata “ja’ala” dalam penciptaan cahaya, karena kata “ja’ala” bisa digunakan untuk menunjukkan penciptaan makhluk dan bukan makhluk.

Ustadz Aris Munandar hafizhahullah menambahkan[7] :

Jika seandainya ayat penciptaan cahaya itu menggunakan kata “khalaqa”, maka orang-orang Mu’tazilah pasti akan memiliki hujjah yang kuat. Mereka pasti menghubung-hubungkan dengan logikanya : “Allah menciptakan cahaya, kemudian Allah juga menyebut Al Qur’an sebagai cahaya[8], sedangkan cahaya adalah makhluk, berarti Al Qur’an itu makhluk dong...”

Namun sungguh besar hikmah Allah menggunakan kata “ja’ala” untuk penciptaan cahaya. Yaitu mematahkan rusaknya Akidah Mu’tazilah yang mengatakan Al Qur’an adalah makhluk dan benarnya Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa Al Qur’an adalah firman Allah bukan makhluk. Wallahu a’lamu bish shawab.

وصلّى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحله أجمعين والحمد لله ربّ العالمين

MPD, Kamis, 29 Shafar 1435 H
Ibnu Abi Hasyim ‘afahullahu wa walidaihi wal muslimiina ajma’in






[1] Faidah kajian Tafsir surat Al An’am karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin rahimahullah bersama Al Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I. hafizhahullah di Masjid Al ‘Ashri Pogung Rejo
[2] QS. Al An’am : 1
[3] Penjelasan Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I. hafizhahullahu ta’ala
[4] Tafsir Surat Al An’am hal. 16, cetakan Dar Ibnul Jauziy
[5] Secara maknawi
[6] QS. An Nisa’ : 174
[7] Secara maknawi
[8] QS. An Nisa’ : 174

Minggu, 22 Desember 2013

Surat Terbuka Syekh Hasyim Asy'ariy rahimahullah kepada Orang-orang yang Fanatik kepada Satu Madzhab

بسم الله الرّحمن الرّحيم

Dari makhluk yang paling melarat, bahkan tidak ada apa-apanya di dalam hakikat, Muhammad Hasyim Asy’ariy, semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya, dan seluruh kaum muslimin. Aamiin.

Kepada saudara-saudara kami yang mulia yang tinggal di Pulau Jawa dan sekitarnya, dari para Ulama’nya dan orang-orang awamnya.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Telah sampai kabar kepadaku bahwa di tengah-tengah kalian sedang menyala-nyala api fitnah dan pertentangan. Lalu aku pun memikirkan sebab terjadinya hal itu. Maka (aku simpulkan) sebabnya adalah apa yang dilakukan oleh orang-orang zaman ini, yaitu mereka mengganti dan merubah-rubah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
(Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu)[1]

Dan mereka menjadikan saudara-saudara mereka sesama muslim menjadi  musuh dan tidak mau memperbaiki hubungan dengan mereka bahkan merusak mereka.
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا تباغضوا ، ولا تدابروا ، وكونوا عباد الله إخوانا وهم يتحاسدون ويتباغضون وبتنافسون ويكونون أعداءً[2] ،  ولا تحاسدوا
(Janganlah kalian saling dengki, saling membenci, dan saling bermusuhan, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang yang bersaudara, dan mereka orang-orang yang saling dengki, saling membenci, dan yang saling bersaing, akan menjadi orang-orang yang bermusuhan)
Wahai para Ulama’ yang fanatik kepada sebagian madzhab dan sebagian pendapat Ulama’, tinggalkanlah fanatikmu dalam perkara furu’ (cabang agama), yang para Ulama’ saja dalam perkara ini terdapat dua pendapat : pendapat pertama mengatakan,”Setiap mujtahid adalah benar,” dan yang satu lagi mengatakan,”Yang benar itu cuma satu, akan tetapi yang ijtihadnya salah dia tetap diberi pahala.” Tinggalkanlah fanatisme, tinggalkanlah hawa yang merusak ini, belalah agama Islam, dan bersungguh-sungguhlah dalam membantah orang-orang yang mencela Al-Qur’an dan Sifat-sifat Ar-Rahman (Allah), serta orang yang mengaku-aku berilmu tetapi ilmu yang batil dan beraqidah dengan aqidah yang rusak. Maka bersungguh-sungguh dalam menghadapi mereka adalah wajib dan hendaklah sibukkan diri kalian dalam perkara ini.

Wahai para manusia, di tengah-tengah kalian telah banyak orang-orang kafir yang memenuhi daratan negeri kalian, maka barangsiapa yang bangkit dari kalian untuk menyelidiki mereka dan berjaga-jaga dari pengaruh mereka.[3]Wahai para Ulama’, dalam perkara semacam ini maka bersungguh-sungguhlah dah fanatiklah!

Adapun fanatik kalian dalam perkara cabang (furu’) agama dan tindakan kalian membawa manusia pada satu madzhab dan satu pendapat maka ini adalah perkara yang Allah Ta’ala tidak akan menerimanya dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan ridho dengannya. Dan tidaklah kalian membawa mereka kepada yang demikian itu kecuali hanya murni fanatisme, saling bersaing, dan saling dengki. Seandainya Imam Asy Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Ibnu Hajar, dan Imam Ramli masih hidup niscaya mereka akan mengingkari kalian dengan pengingkaran yang sangat keras, dan berlepas diri dari apa yang kalian lakukan dan pengingkaran kalian dalam perkara-perkara yang Ulama’ berselisih di dalamnya.

Dan kalian akan melihat orang-orang awam, yang tidak bisa dihitung banyaknya kecuali Allah Ta’ala yang tahu, mereka meninggalkan shalat. Padahal  balasan bagi orang yang meninggalkan shalat menurut Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad adalah dipenggal lehernya. Malah kalian tidak mengingkari hal ini kepada mereka (orang-orang awam). Bahkan salah seorang dari kalian mungkin melihat tetangganya meninggalkan shalat, akan tetapi kalian diam kepada mereka. Kemudian malah kalian bertingkah mengingkari perkara-perkara cabang yang para ahli fiqih saja berselisih di dalamnya. Dan kalian tidak mengingkari perkara-perkara haram yang dilakukan masyarakat seperti zina, riba, minum khamer, dan lain-lainnya. Kalian tidak mau merubah hal itu karena Allah Ta’ala, akan tetapi kalian sempat merubah-rubah pendapat Asy Syafi’i dan Ibnu hajar. Maka apa yang kalian lakukan itu akan mengantarkan pada perpecahan dan memutus tali silaturrahim, serta orang-orang bodoh akan menguasai kalian, dan jatuhlah wibawa kalian dihadapan para manusia. Dan orang-orang bodoh akan berkata tentang kedaan kalian, maka perkataan mereka tentang kalian akan membinasakan mereka, karena daging kalian adalah beracun dalam kondisi apapun, karena kalian adalah Ulama’. Dan diri kalian akan binasa disebabkan dosa-dosa besar yang kalian lakukan.

Wahai para Ulama’, ketika kalian melihat seseorang melakukan suatu amalan berdasarkan pendapat seseorang yang boleh diikuti dari para imam madzhab yang diakui, walaupun pendapatnya marjuh (lemah), jika kalian merasa tidak cocok dengan mereka maka janganlah berbuat kejam kepada mereka, akan tetapi bimbinglah mereka dengan lembut. Jika mereka tidak mau mengikutimu, maka janganlah kalian jadikan mereka sebagai musuh. Dan permisalan orang yang melakukan hal ini adalah bagaikan orang yang membangun istana tapi dengan jalan menghancurkan kota. Dan janganlah kalian menjadikan hal ini sebagai sebab terjadinya perpecahan, pertentangan, pertengkaran. Maka ini adalah kejahatan yang merata dan dosa besar, yang merobohkan bangunan umat Islam, dan menutup pintu-pintu kebaikan di hadapan mereka.
Oleh karena itulah Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari pertentangan, dan memberi peringatan kepada mereka akan akibat dari pertentangan yang sangat buruk dan buah-buahnya yang sangat menyakitkan. Allah Ta’ala berfirman :
وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ
(dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu)[4]

Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hari-hari ini banyak sekali pelajarannya serta  mengandung nasehat yang banyak, dan bisa mengambil faidah dari semua itu orang-orang yang cerdas. Dan kebanyakan yang bisa mengambil faidah dari semua ini memang mereka para pemberi nasihat yang cerdas.

Igatlah nasihat-nasihat dari peristiwa yang telah berlalu ini dalam setiap kesempatan. Lalu sekarang tinggal apakah kita sudah mampu untuk mengambil pelajaran dan nasihat, serta sadar dari kemabukan kita, dan ingat akan kelalaian kita. Kita tahu kemenangan kita tergantung pada tolong-menolong dan persatuan kita, serta beningnya hati dan keikhlasan kita kepada yang lain. Atau kita akan bernaung di bawah perpecahan, saling menghina, memecah belah, serta kemunafikan, kedengkian, dan kesesatan yang lama. Padahal agama kita satu, agama Islam, madzhab kita satu, madzhab Imam Asy Syafi’i, dan daerah kita satu, Jawa. Dan kita semua termasuk Ahlussunnah Waljama’ah. Maka demi Allah, bukanlah semua itu kecuali bencana yang nyata dan kerugian yang besar.

Wahai kaum Muslimin, bertakwalah kepada Allah, kembalilah pada kitab Rabb kalian, amalkanlah sunnah-sunnah Nabi kalian, dan teladanilah para salaf (pendahulu) kalian yang shalih, niscaya kalian akan beruntung sebagaimana mereka beruntung, dan kalian akan bahagia sebagaimana mereka bahagia. Bertakwalah kepada Allah, dan perbaikilah orang-orang yang berselisih diantara kalian. “Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan”[5]. Semoga Allah Ta’ala meliputi kalian dengan kasih sayang-Nya, dan meliputi kalian dengan kebaikan-Nya. “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang  yang berkata "Kami mendengarkan,” padahal mereka tidak mendengarkan.”[6]

Wassalamu fil mabda’ walkhitaam


Muhammad Hasyim Asy’ari
Tebu Ireng, Jombang





Ahad, 18 Shafar 1435 H/ 22 Desember 2013
 Diterjemahkan oleh Hasim Ikhwanudin, dari kitab Iryadus Sari fi Jam'i Mushonnafati Asy Syaikh Hasyim Asy'ariy



[1] QS. Al Hujurat : 10
[2] Dalam redaksi shahihain dari Sahabat Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau bersabda :
لا تباغضوا ، ولا تحاسدوا ، ولا تدابروا ، وكونوا عباد الله إخوانا , tambahan redaksi Beliau penerjemah belum tahu riwayatnya. Hadits ini juga ada dalam Al Arba’in An Nawawiyah hadits no. 35 dengan redaksi yang agak beda.
[3] Saya kurang paham dengan kalimat ini, namun kemungkinan intinya : “Hendaknya kita bangkit untuk waspada akan pengaruh mereka”. Karena zaman Beliau memang Indonesia sedang dijajah orang-orang kafir.
[4] QS. Al Anfal : 46
[5] QS. Al Maidah : 2
[6] QS. Al Anfal : 21

Jumat, 20 Desember 2013

Muqodimah Kitab At Tanbihat Al Wajibat Karya K.H. Hasyim Asy'ari Rahimahullah

(كلُّ بِدعةٍ ضللةٌ)
Hadits yang mulia
(Setiap perkara yang baru dalam agama (bid’ah) adalah sesat[1])



بسم الله الرّحمن الرّحيم

Segala puji bagi Allah Dzat yang mencerai beraikan kegelapan jahiliyah dengan cahaya syari’at yang dibawa oleh penghulu para manusia dan jin (Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam-pent), Maha Suci Dzat yang sungguh agung urusan-NyaSetiap waktu Dia dalam kesibukan”[2]. Aku memuji-Nya dengan pujian yang terus menerus dari lubuk hati yang paling dalam dan dari lisan yang tulus. Dan aku juga bersyukur kepada-Nya dengan syukur yang tiada hentinya dengan segenap hati dan anggota badan. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah yang Maha Tunggal, yang tiada sekutu bagi-Nya, yang disucikan dari berjasad dan memiliki arah serta waktu dan tempat[3]. Dan aku bersaksi bahwa penghulu kami Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah hamba dan utusan-Nya, Nabi yang membawa kasih sayang, yang akan memberi syafaat[4] kepada umatnya, akhlak Beliau adalah Al Qur’ansemoga Allah memberi shalawat[5] dan salam-Nya kepada Beliau, keluarganya, sahabatnya, dan kepada seluruh Nabi dan Rasul serta semua hamba-hamba Allah yang shalih, malaikat-malaikat yang dekat (dengan Allah), dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari pembalasan di setiap tempat dan waktu, selama silih bergantinya siang dan malam.

Amma ba’du :

Seorang hamba yang lemah yang rusak, penuh dengan cacat dan melampaui batas serta lemah badannya, Muhammad Hasyim bin Muhammad Asy’ari Al Jumbani, semoga Allah mempergaulinya dengan kelembutan-Nya yang tersembunyi lagi dekat, mengatakan :

Pada malam Senin tanggal 25 Rabi’ul Awwal tahun 1355 Hijriyah, aku melihat  banyak orang dari para pelajar yang mencari ilmu pada sebagian pondok pesantren melakukan perkumpulan yang bernama “Maulid”, dan didatangkan untuk acara itu alat-alat musik, kemudian membaca Al Qur’an dan hadits-hadits yang warid[6] tentang permulaan penciptaan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan apa saja yang terjadi saat kelahiran Beliau yang  berupa tanda-tanda dan seterusnya, termasuk membaca siroh (sejarah) Beliau yang diberkahi. Namun kemudian mereka melakukan perbuatan mungkar, yaitu saling memukul dan saling dorong-dorongan yang diberi nama “pencak” dan “tinju.” Kemudian dipukullah rebana setiap kali acara itu dilakukan, dengan disaksikan para wanita ajnabiyah[7] dari jarak yang sangat dekat. Sehingga para wanita itu bisa menonton mereka (yang bermain pencak dan tinjau), diiringi musik serta sandiwara dan permainan-permainan yang menyerupai perjudian dan berkumpulnya pria serta wanita campur bawur untuk menonton, dan tarian-tarian yang membuat mereka tenggelam didalamnya dengan tertawa dan berteriak-teriak di dalam masjid dan sekitarnya. Maka kemudian akupun melarang mereka dan mengingkari mereka dari perbuatan-perbuatan mungkar itu, lalu merekapun bubar dan pergi.

Dan setelah perkara ini terjadi sebagaimana aku gambarkan, aku khawatir perbuatan yang hina semacam ini menyebar ke berbagai tempat, dan orang-orang awam yang ikut-ikutan melakukan hal itu menambah-nambahi dengan kemaksiatan-kemaksiatan. Dan bisa jadi perbuatan ini akan membawa mereka keluar dari agama Islam. Maka aku menulis peringatan ini sebagai nasihat untuk agama dan sebagai bimbingan bagi kaum muslimin. Dan aku memohon kepada Allah subhanahu wata'ala agar menjadikan ini ikhlas hanya mengharapkan wajah-Nya yang mulia, sesungguhnya Dia adalah Dzat yang memiliki karunia yang besar.[8]

(diterjemahkan oleh Hasim Ikhwanudin, 16 Shafar 1435 H/ 20 Desember 2013)






[1] HR. Muslim, hadits ini asli ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari pada awal muqoddimah kitab ini
[2] QS. Ar Rahman : 29
[3] Ini adalah aqidah Asy’ariyah, Fakhruddin Ar Rozi menyebutkan hal ini dalam kitabnya Tahsiisut Taqdiis
[4] Tentunya setelah mendapatkan izin dari Allah dan umat Beliau yang berhak mendapatkan syafa’at adalah orang yang memenuhi kriteria: ahlit tauhid dan diridhoi oleh Allah (orang yang memberi syafaat diizinkan oleh Allah subhanahu wata'ala untuk memberi syafaat kepadanya)
[5] Shalawat Allah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah pujian-Nya di hadapan para malaikat di langit
[6] Warid : datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
[7] Ajnabiyah : wanita yang bukan mahram dan bukan istri, yang tidak boleh memandangnya dan berinteraksi dengan mereka kecuali ada kebutuhan yang dibenarkan syariat
[8] Tanbihat Al Wajibat liman Yashna’ul Maulid bil Munkarat, KH. Hasyim Asy’ari rahimahullah, hal. 7-10, terbitan Maktabah At Turots Al Islamiy, Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang.