Kamis, 02 Januari 2014

Penciptaan Cahaya Menggunakan Kata “Ja’ala” Bukan “Khalaqa”, kenapa ya..?





Segala puji bagi Allah Ta’ala, shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kenapa di dalam Al Qur’an penciptaan “Nur” atau cahaya menggunakan kata “Ja’ala”(جعل) bukan menggunakan kata “Khalaqa” (خلق) ....?[1]


 “الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ [2]

“Ja’ala” (جعل) bisa bermakna “khalaqa” (خلق) yang artinya menciptakan. Namun apa sih faidah dari penggunaan kata “ja’ala”  kalau sama-sama artinya menciptakan? Kenapa tidak “khalaqa” saja wong artinya juga sama? Berikut sedikit penjelasannya.

“Ja’ala”  sendiri memiliki dua makna tergantung konteks yang sedang dibahas. Terkadang “ja’ala” bisa bermakna ”khalaqa” (menciptakan)  jika dia hanya membutuhkan satu maf’ul bih. Tapi “ja’ala” bisa bermakna “shayyara” (menjadikan) jika dia membutuhkan dua maf’ul bih[3]. Contoh :

1. Dalam surat Nuh ayat 16 :
 “وَجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا
“...(dan Dia) menjadikan matahari sebagai pelita.”
Kata “ja’ala” dalam ayat ini menunjukkan makna “shayyara” (menjadikan) yang berkonsekuensi membutuhkan dua maf’ul bih yaitu الشَّمْسَ dan سِرَاجًا , dua-duanya dibaca manshub. Dan ayat yang lain.

2. Dalam surat Al an’am ayat 1 :

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ

“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang, Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.”

Dalam ayat ini kata “ja’ala” bermakna “khalaqa” (menciptakan), maka dia hanya membutuhkan satu maf’ul bih yaitu الظُّلُمَاتِ (kegelapan) atau النُّورَ (cahaya). Lho kok satu maf’ul bih ? Ya kan antara الظُّلُمَاتِ dan النُّورَ ada huruf ‘athaf و (wau), maka kedudukan dua kata itu setara.

Nah, dalam bahasa arab suatu kata ketambahan satu huruf saja faidahnya jadi macam-macam. Apalagi kalau yang digunakan  beda kata maknanya sama, pasti memeiliki banyak hikmah dan faidah. Maka Syaikh Ibnul ‘Utsaimin[4] memiliki penjelasan menarik terkait hal ini.

Di antara hikmahnya, seperti diterangkan oleh Beliau, bahwa ada Ulama yang mengatakan tentang hikmah penggunaan kata “ja’ala” dan “khalaqa” ini adalah sebagai variasi di dalam berbahasa, yaitu penggunaan kata yang berbeda yang memiliki kesamaan makna. Dan hal ini juga menunjukkan atas keindahan dalam berbahasa yang biasa disebut Balaghah.

Dan ada juga yang mengatakan bahwa penciptaan cahaya menggunakan kata “ja’ala” itu untuk menunjukkan bahwa cahaya itu tidak akan terlihat sebagai cahaya kecuali membutuhkan benda yang lain untuk memantulkannya. Sebagai contoh sinar matahari. Maka sinar matahari akan terlihat terang jika dia berhadapan dengan benda lain yang memantulkannya. Sinar matahari yang dipantul oleh pemukaan putih jauh lebih terang daripada yang dipantulkan oleh permukaan hitam.

Ustadz Aris Munandar hafizhahullah menerangkan[5] :
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa penciptaan cahaya itu melazimkan penciptaan pemantulnya. Karena cahaya tidak akan terlihat terang jika dia tidak dipantulkan oleh benda lain yang memantulkannya. Maka penggunaan kata “ja’ala” pada penciptaan cahaya menyiratkan penciptaan pemantulnya juga. Jadi kata “ja’ala”  dalam Al An’am ayat pertama tetap  membutuhkan pada dua maf’ul bih secara tersirat. Meskipun secara zhahir ayat kata “ja’ala” itu hanya memiliki satu maf’ul bih.

Hikmah yang lain dari penggunaan kata “ja’ala” untuk penciptaan cahaya adalah karena kegelapan dan cahaya itu bisa memiliki dua makna, makna kongkrit dan makna abstrak. Kegelapan malam misalnya, merupakan kegelapan yang kongkrit yang bisa dirasakan dengan indra manusia, sedangkan kebodohan adalah contoh kegelapan dengan makna abstrak. Cahaya yang terang di siang hari adalah contoh cahaya dalam makna kongkrit. Adapun cahaya ilmu dan iman adalah cahaya dalam makna abstrak. Termasuk cahaya ilmu dan iman adalah bercahayanya hati dengan firman Allah. Dan kita tahu firman Allah bukanlah makhluk, lalu bagaimana dengan ayat yang menerangkan bahwa Al Qur’an itu disebut cahaya? Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا

Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran).[6]

Maka Allah menggunakan kata “ja’ala” dalam penciptaan cahaya, karena kata “ja’ala” bisa digunakan untuk menunjukkan penciptaan makhluk dan bukan makhluk.

Ustadz Aris Munandar hafizhahullah menambahkan[7] :

Jika seandainya ayat penciptaan cahaya itu menggunakan kata “khalaqa”, maka orang-orang Mu’tazilah pasti akan memiliki hujjah yang kuat. Mereka pasti menghubung-hubungkan dengan logikanya : “Allah menciptakan cahaya, kemudian Allah juga menyebut Al Qur’an sebagai cahaya[8], sedangkan cahaya adalah makhluk, berarti Al Qur’an itu makhluk dong...”

Namun sungguh besar hikmah Allah menggunakan kata “ja’ala” untuk penciptaan cahaya. Yaitu mematahkan rusaknya Akidah Mu’tazilah yang mengatakan Al Qur’an adalah makhluk dan benarnya Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa Al Qur’an adalah firman Allah bukan makhluk. Wallahu a’lamu bish shawab.

وصلّى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحله أجمعين والحمد لله ربّ العالمين

MPD, Kamis, 29 Shafar 1435 H
Ibnu Abi Hasyim ‘afahullahu wa walidaihi wal muslimiina ajma’in






[1] Faidah kajian Tafsir surat Al An’am karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin rahimahullah bersama Al Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I. hafizhahullah di Masjid Al ‘Ashri Pogung Rejo
[2] QS. Al An’am : 1
[3] Penjelasan Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I. hafizhahullahu ta’ala
[4] Tafsir Surat Al An’am hal. 16, cetakan Dar Ibnul Jauziy
[5] Secara maknawi
[6] QS. An Nisa’ : 174
[7] Secara maknawi
[8] QS. An Nisa’ : 174